KOMPAS.com - Pergerakan akar rumput Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM) mendorong "5 Kompas Perubahan" sebagai arah dalam melakukan perubahan paradigma pendidikan Indonesia yang selama ini dinilai belum menempatkan siswa sebagai subyek pendidikan.
"Aspek Kompas Perubahan paradigma dari kurikulum ke penalaran ini sejalan dengan tujuan terciptanya pendidikan berkelanjutan yang dipromosikan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa," ungkap Muhammad Nur Rizal, Founder GSM, di hadapan 68 guru SMK Sumatera dan Kalimantan dalam Diklat Sekolah Menyenangkan (16/6/2021).
Kegiatan ini diiniasi salah satu widyaiswara Balai Besar di Medan, Pariaman Saragi secara akar rumput.
"Kebutuhan industri tinggi di masa depan mensyaratkan kompetensi penalaran dan analitik di masa depan. Oleh sebab itu pembelajaran berorientasi penalaran ini penting bagi sekolah kejuruan," tegas Rozal.
Ia menilai, penalaran menjadi modal utama bagaimana link and match dilakukan tidak hanya mengisi pekerjaan di dunia industri tetapi juga bagi kebutuhan peradaban masa depan yang lebih kompleks.
"Teknik analisa dan kepekaan terhadap permasalahan sosial menjadi modal menyelesaikan problem yang dihadapi komunitas sekitar. Dengan begitu, siswa didorong berpartisipasi aktif dalam menerapkan keterampilan kejuruan mereka ke masyarakat," jelas Rizal.
Baca juga: Triple Faults Kebijakan Pendidikan Nasional
Setelah mengikuti pelatihan GSM pertama di Yogyakarta tahun 2020 lalu, Saragi mampu menggerakkan birokrasi di balai besarnya untuk menggerakkan perubahan secara akar rumput.
“Bulan September 2020 lalu, kami lakukan webinar Sekolah Menyenangkan yang diikuti oleh 800 peserta. Kemudian lanjut webinar yang sama pada 29 Desember diikuti dengan tantangan pembuatan karya tulis tindak lanjut implementasi sekolah menyenangkan," ungkap Saragi.
"Alhamdulillah, ada 34 sekolah SMK yang antusias mengirimkan tulisan mereka ke kami,” tambah Saragi. Diklat hari ini, jelasnya, merupakan tindak lanjut dari antusiasme 34 SMK yang telah mengirimkan karya tulis implementasi sekolah menyenangkan tersebut.
Dalam pembukaan diskusi, Rizal memaparkan data temuan OECD terkait kemampuan literasi orang dewasa di Jakarta tahun 2016.
Survei menunjukkan kurang dari 1 persen orang dewasa di Jakarta berumur 16-65 tahun memiliki kompetensi membaca dan berhitung tingkat tinggi dibandingkan 10,6 persen rerata negara OECD lainnya.
Hanya 5,4 persen orang dewasa Jakarta dapat memahami dan merespon teks panjang dibanding 35,4 persen rerata negara OECD lainnya.
Tragisnya, mayoritas sebesar 70 persen warga Jakarta hanya bisa membaca teks singkat dan kosakata dasar serta kesulitan memahami struktur paragraf. Setali tiga uang, sekitar 60 persen kemampuan berhitungnya ada di level rendah.
“Survei yang menunjukkan kondisi Jakarta sebagai ibukota negara yang memiliki akses dan fasilitas pendidikan lebih baik dari daerah lain di Indonesia ternyata menunjukkan hasil kualitas SDM yang miris. Bagaimana dengan daerah lain di Indonesia?” singgung Nur Rizal.
Baca juga: Badan Akreditasi Nasional: Ini Cara Tingkatkan Mutu dan Kualitas Pendidikan di Indonesia
Beberapa peserta menyatakan bahwa rendahnya kemampuan literasi dan numerasi juga dirasakan oleh guru-guru SMK.