Penulis: Naftalia Kusumawardhani, Psikolog, Penulis.
KOMPAS.com - Berita duka bertubi-tubi datang, mulai dari bayi hingga lansia. Kematian tidak memandang usia. Dulu orang berkata bahwa usia tua lebih besar peluang untuk meninggal lebih dulu dibandingkan usia muda, kini mati tidak pandang usia.
Korban meninggal pun dialami oleh dokter, tenaga kesehatan dan tenaga pendukung medis lainnya.
Para dokter dan perawat, sebagai tenaga garda depan bidang kesehatan, sungguh kelelahan. Mereka terus-menerus bersiaga, memaksakan diri untuk mampu melayani pasien yang datang tanpa henti, dan hampir tidak bisa bertemu keluarganya.
Meskipun mereka berpengalaman menghadapi kematian, tak urung juga mereka ciut nyali ketika melihat begitu banyaknya pasien meninggal dalam waktu bersamaan di depan mereka.
Baca juga: Perempuan Lebih Mudah Idap Gangguan Mental, Ini Penjelasan Pakar Unair
Seolah-olah waktu membekukan kemampuan mereka, membekukan kehidupan dan menyisakan pilu di hati para dokter dan perawat. Mereka ingin derita ini berakhir. Mereka juga ingin pulang ke rumah, bertemu keluarga.
Salah satu kisah dalam buku Badai Pasti Berlalu menceritakan kegalauan perawat yang bertugas di ruang isolasi.
Dia terguncang karena pasien-pasien yang dirawatnya begitu cepat dijemput Malaikat Maut. Melihat pasien sesak napas, bukanlah hal menyenangkan kalau jumlahnya terlalu banyak.
Di sisi lain, mereka mendapatkan stigma dari masyarakat. Dijauhi, disingkirkan, bahkan diusir dari tempat tinggalnya karena dianggap pembawa virus.
Kelelahan bertugas di rumah sakit yang ingin dilepaskan di rumah terhalang dengan situasi lingkungan sosialnya. Ke mana mereka harus melepaskan penat?
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.