Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tiga Tanda Alami "Kelelahan Mental", Temukan Solusinya di Buku Ini

Kompas.com - 06/09/2021, 16:12 WIB
Sandra Desi Caesaria,
Ayunda Pininta Kasih

Tim Redaksi

Penulis: Naftalia Kusumawardhani, Psikolog, Penulis.

KOMPAS.com - Berita duka bertubi-tubi datang, mulai dari bayi hingga lansia. Kematian tidak memandang usia. Dulu orang berkata bahwa usia tua lebih besar peluang untuk meninggal lebih dulu dibandingkan usia muda, kini mati tidak pandang usia.

Korban meninggal pun dialami oleh dokter, tenaga kesehatan dan tenaga pendukung medis lainnya.

Para dokter dan perawat, sebagai tenaga garda depan bidang kesehatan, sungguh kelelahan. Mereka terus-menerus bersiaga, memaksakan diri untuk mampu melayani pasien yang datang tanpa henti, dan hampir tidak bisa bertemu keluarganya.

Meskipun mereka berpengalaman menghadapi kematian, tak urung juga mereka ciut nyali ketika melihat begitu banyaknya pasien meninggal dalam waktu bersamaan di depan mereka.

Baca juga: Perempuan Lebih Mudah Idap Gangguan Mental, Ini Penjelasan Pakar Unair

Seolah-olah waktu membekukan kemampuan mereka, membekukan kehidupan dan menyisakan pilu di hati para dokter dan perawat. Mereka ingin derita ini berakhir. Mereka juga ingin pulang ke rumah, bertemu keluarga.

Salah satu kisah dalam buku Badai Pasti Berlalu menceritakan kegalauan perawat yang bertugas di ruang isolasi.

Dia terguncang karena pasien-pasien yang dirawatnya begitu cepat dijemput Malaikat Maut. Melihat pasien sesak napas, bukanlah hal menyenangkan kalau jumlahnya terlalu banyak.

Di sisi lain, mereka mendapatkan stigma dari masyarakat. Dijauhi, disingkirkan, bahkan diusir dari tempat tinggalnya karena dianggap pembawa virus.

Kelelahan bertugas di rumah sakit yang ingin dilepaskan di rumah terhalang dengan situasi lingkungan sosialnya. Ke mana mereka harus melepaskan penat?

Kelelahan fisik bertambah parah ketika mereka mengalami juga kelelahan psikis. Emosional para dokter dan tenaga kesehatan lainnya terkuras habis bukan hanya oleh ulah pasien, tapi juga keluarga pasien.

Baca juga: Stres saat Pandemi, 55 Psikolog UGM Siap Bantu Konseling

Berbagai macam keluhan, kemarahan, hingga ketidakpercayaan pasien dan keluarganya pada dokter dan perawat. Mereka sendiri harus berjuang agar ketakutan mereka tidak menghalangi pelayanan terhadap pasien.

Mereka pun punya rasa takut tertular, bagaimanapun mereka manusia biasa, yang masih ingin berumur panjang, namun sumpah profesi yang dijunjung tinggi mengalahkan ketakutan itu.

Konflik-konflik tersebut menyebabkan munculnya kondisi burnout pada tenaga medis dan tenaga kesehatan. Gejala burnout yang muncul ada 3, yaitu:

  • Emotional Exhaustion (Kelelahan Emosional)

Merasa kelelahan secara psikis
Energinya kosong, merasa tidak mampu lagi menghadapi hari esok dengan sederetan pasien dan setumpuk komplain dari banyak pihak. Merasa tidak bisa membantu orang lain dengan baik, bukan karena tidak mau, tapi tidak mampu melakukannya.

  • Depersonalization (Berjarak secara Personal).

Kelelahan emosi kemudian mendorong individu untuk mengurangi, bahkan menarik diri dari interaksi intensif dengan orang lain dalam rangka membebaskan diri dari beban psikologis yang dirasakan. Dilematis, karena dokter dituntut untuk terus berinteraksi dengan banyak orang.

Akibatnya muncul perilaku apatis, tidak mau terlibat jauh dengan persoalan kebijakan, melakukan tindakan seperlunya, dan sebagainya.

Baca juga: 5 Negara Paling Santai di Dunia, Indonesia Peringkat Pertama

  • Reduced Personal Accomplishment (Kinerja Menurun

Gejala berikutnya adalah penilaian negatif individu terhadap dirinya sendiri. Mereka meragukan kemampuan dirinya, terutama ketika kasus meninggal berturut-turut saat mereka bertugas. Mereka kecewa pada dirinya, rekan kerja, dan masyarakat secara umum.

Mungkin beberapa dari mereka berpikir bahwa profesi tenaga medis atau tenaga kesehatan tidak cocok untuk mereka jalani.

Seandainya diperbolehkan, mungkin mereka akan berteriak: “Toloonnnggg... pahami kami. Pahami kalau kami lelah dan ingin secepatnya keluar dari kondisi ini. Tolonglah kami dengan cara menaati prokes dan jagalah diri kalian!”

Kisah lain tentang perjuangan menghadapi situasi pandemi ini dapat dibaca dalam buku Aku (Tidak) Menyerah dan Badai Pasti Berlalu, sebuah buku antologi yang ditulis oleh 25 Psikolog Klinis Jawa Timur.

Kami berharap semua kisah dalam kedua buku tersebut memberikan semangat bagi pembaca untuk bangkit kembali dan memiliki kualitas hidup lebih baik.

Penasaran sama bukunya? Cek di sini:
https://www.gramedia.com/products/aku-tidak-menyerah-taklukkan-burnoutmu-nyalakan-kembali/

Ingin beli buku ini, tapi dompet tetap aman?
Klik ini: http://bit.ly/voucher_artikel

Promo Survei GramediaDOK. Gramedia Promo Survei Gramedia

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau