KOMPAS.com - Pada 30 September 1965 adalah kenangan kelam bagi bangsa Indonesia. Sebab, saat situasi politik tidak stabil, terjadi sebuah pemberontakan.
Tentu, siswa sekolah paham dengan peristiwa pemberontakan yang memakan korban para petinggi TNI AD dan beberapa korban lainnya.
Karena peristiwa itu, para korban ditetapkan sebagai Pahlawan Revolusi lewat beberapa Keputusan Presiden di tahun 1965.
Baca juga: Siswa, Ini Bentuk Bullying yang Masuk Perbuatan Kriminal Berikut Sanksinya
Karena itu, untuk mengenang para pahlawan, siswa harus mengenal lebih dekat siapa para pahlawan revolusi tersebut. Melansir laman Direktorat SMP Kemendikbud Ristek, Kamis (30/9/2021), ini informasinya:
Di masa Orde Lama, Ahmad Yani adalah seorang petinggi TNI AD. Ia lahir di Jenar, Purworejo pada 19 Juni 1922. Ketika muda, Jenderal Ahmad Yani mengikuti pendidikan Heiho di Magelang dan Pembela Tanah Air (PETA) di Bogor.
Setelah itu, karier Ahmad Yani berkutat di militer. Ia turut ikut dalam pemberantasan PKI Madiun 1948, Agresi Militer Belanda II, dan juga penumpasan DI/TII di Jawa Tengah.
Pada 1958 ia diangkat sebagai Komandan Komando Operasi 17 Agustus di Padang Sumatera Barat untuk menumpas pemberontakan PRRI. Ia diangkat sebagai Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) 1962.
Namun, pada 1965 Ahmad Yani mendapatkan fitnah ingin menjatuhkan Presiden Soekarno. Ia harus tewas ketika pemberontakan G30S pada 1 Oktober 1965.
Siswondo Parman atau yang lebih dikenal dengan S. Parman adalah salah satu petinggi TNI AD di masa Orde Lama. Ia dilahirkan di Wonosobo, Jawa Tengah, pada 4 Agustus 1918.
Pendidikannya lebih berkutat di bidang intelijen. Ia pernah dikirim ke Jepang untuk memperdalam ilmu intelijen pada Kenpei Kasya Butai. Setelah Proklamasi Kemerdekaan ia mengabdi kepada Indonesia untuk memperkuat militer Tanah Air.
Pengalamannya di bidang intelijen sangat berguna bagi TNI kala itu. Ia mengetahui rencana-rencana PKI yang ingin membentuk angkatan kelima. Namun, pada 1 Oktober 1965 ia pun diculik dan dibunuh bersama para jenderal lainnya. S. Parman harus gugur dan diberi gelar Pahlawan Revolusi.
Baca juga: Siswa, Ini Perbedaan 4 Sehat 5 Sempurna dengan Gizi Seimbang
Pahlawan revolusi lainnya ialah Suprapto yang lahir di Purwokerto pada 20 Juni 1920. Ia sempat mengikuti pendidikan di Akademi Militer Kerajaan Bandung, namun harus terhenti karena pendaratan Jepang di Indonesia.
Pada awal kemerdekaan Indonesia Suprapto aktif dalam usaha merebut senjata pasukan Jepang di Cilacap. Ia kemudian memasuki Tentara Keamanan Rakyat (TKR) di Purwokerto dan ikut dalam pertempuran di Ambarawa sebagai ajudan Panglima Besar Sudirman.
Kariernya terus melejit di militer. Namun ketika PKI mengajukan pembentukan angkatan perang kelima, Suprapto menolaknya.
Ia pun menjadi korban pemberontakan G30S bersama para petinggi TNI AD lainnya. Jasadnya ditemukan di Lubang Buaya. Suprapto pun dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata Jakarta.