KOMPAS.com - Bencana alam gunung meletus kembali terjadi di Indonesia. Beberapa hari lalu terjadi erupsi Gunung Semeru hingga menimbulkan korban jiwa.
Karena itu, perlu adanya pengamatan pada aktivitas gunung api, terlebih di Gunung Semeru Jawa Timur. Kini, pengamatannya dilakukan menggunakan dua metode yaitu seismik dan pengamatan visual.
Pengamatan seismik berperan vital dalam pemantauan aktivitas gunung api, umumnya terkait deteksi pergerakan magma ke permukaan, letusan, guguran lava, dan aliran awan panas dan lahar.
Baca juga: Siswa, Seperti Ini Tindakan Saat dan Sesudah Gunung Api Meletus
Menurut Pakar Geologi Universitas Gadjah Mada (UGM) Dr. Haryo Edi Wibowo, S.T., M.Sc., pengamatan aktivitas gunung api di Gunung Semeru perlu dikombinasikan dengan sejumlah metode pengamatan lainnya.
"Metode ini perlu dikombinasikan dengan pengamatan lain seperti deformasi dan geokimia gas," ujarnya seperti dikutip dari laman UGM, Kamis (9/12/2021).
Dikatakan, kehadiran tubuh lava di area puncak juga memerlukan pengamatan morfologi, photogrammetry ataupun UAV DTM, untuk identifikasi laju pertumbuhan dan tingkat kestabilan tubuh lava tersebut.
"Pengamatan visual memiliki keterbatasan pada faktor cuaca yang sangat berpengaruh terhadap jarak dan kejelasan pandang sehingga perlu dikombinasi dengan pengamatan kamera termal," terangnya.
Gunung Semeru, merupakan gunung api strato tertinggi di Pulau Jawa. Pusat erupsi dari gunung api ini adalah kawah Jonggring Seloko yang terletak di tengah struktur kawah besar yang membuka ke arah tenggara.
Dan merupakan hulu dari sungai Curahlengkong, Besuk Kobokan, Sumbersari, Besuk Kembar, Besuk Bang, Besuk Sarat.
Baca juga: UMY Kirim Relawan Bantu Bencana Erupsi Gunung Semeru
Dijelaskan, Gunung Semeru memiliki karakteristik letusan eksplosif dengan tinggi kolom erupsi kurang dari 1 kilometer yang terjadi setiap harinya.
"Kolom erupsi yang rendah ini menyebabkan material hasil erupsi yang berupa endapan jatuhan piroklastik banyak terendapkan di sekitar area puncak gunung api," ungkapnya.
Selain itu, aktivitas Gunung Semeru juga ditandai oleh munculnya kubah lava dan lava aliran. Guguran dari lava di area puncak ini akan menghasilkan aliran piroklastik atau awan panas yang bergerak menuruni lereng hingga mencapai jarak 11 km.
Sementara Dr. Agung Harijoko, S.T., M.Eng., menambahkan, saat ini di area kawah jonggring seloko terdapat aliran lava yang muncul sejak Agustus 2020 dengan morfologi punggungan yang memanjang sejauh 1-2 km menuruni lereng ke arah tenggara.
Sepanjang 2021, lava ini telah mengalami guguran beberapa kali pada Agustus, Mei, Februari, dan Januari. Endapan guguran lava dapat mencapai jarak 4,5 km dari puncak.
"Lava andesit umumnya memiliki kisaran suhu 800 derajat celcius sedangkan guguran dari lava ini umumnya memiliki suhu berkisar 300-400 derajat celcius," katanya.
Pada 4 Desember 2021 pukul 15.20, data PVMBG menunjukkan adanya aliran lahar yang terbentuk oleh tingginya intensitas hujan di area puncak Gunung Semeru, yang kemudian disusul oleh adanya guguran lava bertemperatur tinggi yang bergerak menuruni lereng dengan kecepatan tinggi.
Kontak antara guguran lava bertemperatur tinggi dengan tubuh air pada aliran lahar menghasilkan proses thermal shock yang menyebabkan terjadinya erupsi sekunder di lereng Gunung Semeru.
Baca juga: Webinar UGM Bahas Pengembangan Penelitian Bidang Kesehatan Lingkungan
Proses erupsi ini menghasilkan kolom abu setinggi 15 km dengan temperatur yang relatif rendah.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.