Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Harga Kedelai Naik, Dosen UNS: Indonesia Perlu Diversifikasi Pangan

Kompas.com - 28/02/2022, 14:20 WIB
Mahar Prastiwi

Penulis

KOMPAS.com - Tempe dan tahu menjadi salah satu lauk favorit masyarakat Indonesia. Sejak harga bahan baku kedelai meroket, hal ini berpengaruh terhadap produktivitas produsen tempe dan tahu.

Sebenarnya naiknya harga bahan baku kedelai bukan kejadian baru. Pasalnya di tahun tahun sebelumnya, kejadian seperti ini juga pernah terjadi.

Pasokan kedelai Indonesia tidak bisa mengandalkan dari hasil budidaya petani lokal, secara kualitas dan kuantitasnya sangat rendah.

Sehingga untuk memenuhi kebutuhan kedelai dalam negeri, Indonesia sangat tergantung pada impor. Bahkan sekarang impor kedelai sudah mencapai di atas 80 persen untuk memenuhi kebutuhan konsumsi kedelai di Indonesia.

Baca juga: Lowongan Kerja Kao Indonesia bagi Lulusan D3-S1, Yuk Daftar

Permintaan kedelai semakin tinggi di masa depan

Menurut Dosen Agroteknologi Fakultas Pertanian (FP) Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, Mercy Bientri Yunindanova, di masa depan harga kedelai akan semakin naik dengan permintaan kedelai dunia tinggi karena semakin diminati pasar dunia.

Permintaan kedelai dunia tinggi karena ada 4 faktor. Yaitu untuk pemanfaatan energi biodiesel, pemanfaatan kedelai sebagai pakan ternak, konsumsi dalam jumlah tinggi seperti di China dan Amerika, serta plant based meat (produk daging berbasis tanaman) yang sedang tren.

Beberapa peternakan di negara maju memang menggunakan kedelai sebagai pakan ternak. Karena sebagai sumber protein yang akan berpengaruh pada kualitas daging. Bahkan kedelai disebut sebagai miracle crop, atau bahan pangan nabati dengan kandungan protein tertinggi yang bagus untuk manusia dan hewan.

"Sebagai sumber protein yang paling murah untuk masyarakat, maka perlu meningkatkan produktivitas dengan sistem budidaya yang tepat," kata Mercy seperti dikutip dari laman UNS, Senin (28/2/2022).

Baca juga: Dosen Unesa Ciptakan Alat Deteksi Tsunami, Akurasi Capai 99 Persen

Kedelai Indonesia, kuantitas dan kualitasnya masih kurang

 

Dia menerangkan, pada tahun 2019 sampai sekarang Brazil berhasil menggantikan posisi Amerika sebagai negara produsen terbesar kedelai dunia. Belajar dari negara Brazil, hal ini karena membudidayakan kedelai menggunakan manajemen yang baik.

Seperti pembudidayaan skala besar, budidaya terstandar, dan sistem kelompok (gabungan petani dalam sistem dan pengelolaan yang sama) oleh satu perusahaan di hamparan yang luas. Di Brazil sendiri terdapat sertifikasi budidaya kedelai yang menjamin keseragaman kualitas, kuantitas, dan kontinuitas.

Kedelai di Indonesia jauh lebih rendah kualitas dan kuantitasnya, karena mayoritas petani di Indonesia menanam secara sendiri-sendiri. Berbeda tempat dengan lahan kecil, dan tidak dikelola dalam satu sistem yang sama sehingga hasil panennya kurang seragam.

Baca juga: Lowongan Kerja Bank BTN bagi Lulusan D3, Buruan Daftar

Meskipun ada yang telah dikoordinir oleh Gapoktan (Gabungan Kelompok Tani), namun variasi kualitas dan kuantitas masih rendah. Produktivitas kedelai di Indonesia rendah hanya sekitar 1,5 ton per hektar, dan maksimal 1,6 ton per hektar di Jawa. Dibandingkan dengan Brazil dan Amerika sebagai leader produsen kedelai produksinya mencapai 3,5 ton per hektar.

"Meskipun kedelai bukan tanaman asli Indonesia, tetapi sudah ada 85 varietas kedelai yang dikembangkan sejak tahun 1918 sampai tahun 2016. Contoh diantaranya varietas kedelai yang tahan naungan supaya bisa menanam di bawah pohon sawit dan varietas kedelai di lahan pasang surut atau payau," papar Mercy.

Indonesia perlu diversifikasi pangan sebagai sumber protein

Dia mengungkapkan, permasalahan saat ini, belum ada yang menanam dalam jumlah besar dan terstruktur dengan standar kualitas yang sama. Rata-rata lahan pertanian di Indonesia 0,25 hektar yang mana rentan sekali dengan serangan hama penyakit dan kendala lingkungan lainnya.

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau