Emilya mengungkapkan, secara lokal suhu udara yang tinggi akan menyebabkan peningkatan evaporasi/evapotranspirasi dan lingkungan atmosfer yang sesuai akan meningkatkan pembentukan awan-awan vertikal yang berpotensi menghasilkan hujan cukup tinggi dalam waktu singkat.
Curah hujan ekstrem yang berlangsung lama biasanya akan menimbulkan genangan kemudian banjir di daerah dataran rendah atau cekungan, dan di daerah sekitar perbukitan atau pergunungan berpotensi menimbulkan longsor.
Sementara di daerah perbukitan atau pegunungan yang rusak terkadang dapat menimbulkan banjir bandang. Dampak yang ditimbulkan tentu merugikan masyarakat baik harta benda bahkan jiwa serta menimbulkan gangguan kesehatan.
Baca juga: Cek Perbedaan Ilmu Aktuaria dan Statistika Menurut Dosen ITS
Dia menekankan, masyarakat perlu diedukasi tentang pola hujan yang mulai mengalami perubahan. Karena perubahan ini tidak hanya dirasakan masyarakat tertentu tetapi juga semua masyarakat.
Misal di bidang pertanian dapat menimbulkan kerusakan padi sehingga tidak jadi panen. Petani kopi yang akan turun hasil produksinya atau petani tembakau jika hujan ekstrem terjadi di musim kemarau.
Daerah perkotaan mempunyai frekuensi kejadian hujan ekstrem lebih sering karena suhu udara yang lebih tinggi di kota menyebabkan potensi pembentukan hujan konvektif dengan awan-awan konvektif yang mengandung uap air yang banyak (Cumulonimbus).
Kondisi seperti ini tentu tidak hanya dialami di Indonesia, tetapi hampir di semua belahan dunia mengalami fenomena yang sama.
Baca juga: Intip Universitas Terbaik di Jabar Versi SIR dan QS WUR 2022
Dia menambahkan, perubahan iklim akan memengaruhi banyak sektor kehidupan masyarakat, baik langsung maupun tidak langsung. Karenanya perlu melakukan mitigasi dan adaptasi.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.