KOMPAS.com - Menanggapi kasus kekerasan terhadap anak seperti penculikan anak, pengajar Bidang Studi Hukum Pidana, Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FH UI), Nathalina Naibaho mengatakan bahwa faktor ekonomi bukanlah satu-satunya alasan pendorong terjadinya kasus penculikan anak.
Dendam terhadap keluarga korban, keinginan untuk menjadikan korban sebagai anak, serta eksploitasi seksual terhadap anak adalah beberapa faktor lain yang mendorong terjadinya kasus penculikan anak.
Pada kasus kejahatan yang berulang, Nathalina melihat ini dapat disebabkan oleh belum mampunya seorang pelaku melanjutkan kehidupan yang baru dengan pekerjaan yang lebih baik.
Baca juga: Jangan Dimarahi, Ada 7 Cara Efektif Hadapi Anak Sulit Diatur
Sehingga, perekonomiannya tetap sulit dan niat untuk melakukan hal yang salah muncul kembali.
Lantas, bagaimana sebenarnya hukum di Indonesia mengatur penculikan dan kasus pelecehan terhadap anak?
Nathalina menjelaskan, dalam perspektif hukum delik penculikan diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 328 dan Pasal 333.
Untuk korban anak, aturan yang diterapkan adalah Undang-Undang Perlindungan Anak (UU No. 23 Tahun 2022 dan perubahannya dalam UU No. 35 Tahun 2014 dan UU No. 17 Tahun 2016).
Baca juga: Terkenal Disiplin, Begini Cara Orangtua Jepang Mendidik Anak
Jika dalam pemeriksaan kepolisian (yang dikuatkan hasil visum et repertum) ditemukan adanya indikasi perbuatan cabul atau kekerasan seksual, pasal lain dalam UU Perlindungan Anak akan diterapkan melalui lembaga gabungan tindak pidana yang diatur dalam Pasal 65 KUHP dan dapat memperberat ancaman pidana bagi pelaku.
“Secara singkat, dasar hukum untuk kasus penculikan anak yang disertai dengan pencabulan atau kekerasan seksual adalah Pasal 76E dan Pasal 76F UU 35/2014 jo Pasal 82 UU 17/2016 dan Pasal 83 UU 35/2014 tentang Perlindungan Anak jo Pasal 65 KUHP," ujarnya dalam keterangan resmi UI.
Dalam hal ini, lanjut dia, hukuman bagi pelaku ditambah sepertiga, yaitu ancaman hukuman maksimal 20 tahun dan denda paling banyak Rp 5 miliar.
"Korban berhak mendapat rehabilitasi, mengajukan ganti rugi dalam bentuk restitusi, mengajukan pemasangan alat pendeteksi elektronik pada pelaku, dan mengumumkan identitas terdakwa ke publik,” kata Nathalina.
Baca juga: 6 Tanda Anak Cerdas Secara Emosional dan Cara Mengoptimalkannya
Dari banyaknya kasus penculikan terhadap anak, Nathalina melihat adanya pola yang dapat diidentifikasi.
Modus operandi yang biasanya dilakukan pelaku adalah dengan membujuk dan mengelabui anak secara manipulatif.
Pelaku memberi makanan dan minuman, mengajak ngobrol dan jalan-jalan, atau menunjukkan mainan, gambar, dan tayangan yang menarik bagi anak.
Bahkan, sebagian menawari korban pekerjaan ringan dengan menjanjikan upah tertentu.