KOMPAS.com - Sebelum teknologi semakin berkembang, banyak orang yang beraktivitas fisik dengan bergerak. Misalnya saja berjalan kaki.
Tapi saat ini setelah ada kendaraan, orang lebih bergantung pada kendaraan. Bahkan dengan adanya gawai atau ponsel pintar semakin memudahkan segalanya.
Tak heran kini muncul istilah "mager" atau malas gerak. Karena semua bisa dilakukan hanya dengan alat yang canggih.
Bagi anak-anak, sekarang juga lebih banyak menghabiskan waktunya dengan bermain gawai, tidak bermain ke luar rumah bersama teman-temannya.
Baca juga: Dosen UM Surabaya: Gigi Rusak karena 5 Makanan dan Minuman Ini
Fenomena kurang gerak belakangan ini juga lebih populer dengan kata rebahan. Rebahan yang terlalu lama membuat metabolisme dalam tubuh menjadi lambat.
Sehingga tubuh kurang bertenaga hingga akibatnya tubuh pun menjadi semakin malas berpikir dan beraktivitas.
Terkait hal itu, dosen Fakultas Ilmu Kesehatan (FIK) UM Surabaya, Firman, mengatakan, aktivitas fisik yang dilakukan oleh masyarakat kini rendah, maka tingkat kebugaran fisik juga akan rendah.
Selain itu karena kebugaran fisik yang rendah juga bisa membuat tubuh menjadi lebih gampang mengalami kecemasan, stres hingga depresi.
Tak hanya itu saja, banyak penelitian menjelaskan bahwa ketika tubuh kurang gerak atau kurang melakukan aktivitas fisik, maka bisa mengalami risiko penyakit tidak menular lebih tinggi ketimbang mereka yang sering melakukan aktivitas fisik.
Dari total jumlah kematian di Indonesia, 71 persen akibat penyakit tidak menular seperti penyakit jantung, stroke, ginjal, hipertensi dan diabetes.
Adapun beberapa penyakit yang paling sering terjadi akibat kurang melakukan aktivitas fisik, yakni:
Ketika tubuh kurang gerak maka sirkulasi darah dalam tubuh menjadi tidak lancar, kemudian metabolisme dalam tubuh menjadi lambat, akhirnya energi yang dihasilkan oleh tubuh juga rendah.
Akibatnya mekanisme dalam tubuh memberikan stimulus melalui hipotalamus untuk mengonsumsi makanan lebih banyak dari biasanya.
Baca juga: Sering Makan Sehari Sekali? Ahli Gizi UM Surabaya: Bisa Picu 4 Hal Ini
Pada saat yang sama hormon leptin dan ghrelin berperan menimbulkan rasa lapar dan melebarkan lambung supaya bisa menampung makanan lebih banyak, sehingga dari sini bisa terjadi penimbunan lemak dalam tubuh, dan jika terjadi terus menerus bisa menyebabkan obesitas.
Kasus hipertensi atau darah tinggi saat ini makin meningkat. Menurut Riskesdas tahun 2018, kasus hipertensi meningkat sebanyak 34 persen, dibandingkan kasus sebelumnya pada tahun 2013 yaitu sebanyak 14,5 persen.
"Penyakit hipertensi di kalangan akademisi dan klinisi disebut sebagai silent disease, karena darah tinggi menjadi salah satu penyebab utama terjadinya stroke dan serangan jantung," ujarnya dikutip dari laman UM Surabaya, Senin (22/5/2023).
"Namun sebetulnya sepertiga dari kasus hipertensi bisa dicegah dengan cara meningkatkan aktivitas fisik," imbuh Firman.
Saat aktivitas fisik rendah maka metabolisme lemak menghasilkan LDL (kolesterol jahat) akan meningkat, sehingga terjadi penumpukan lemak darah ke dinding pembuluh darah secara masif.
Akibatnya menimbulkan kerusakan sehingga bisa berisiko tinggi terjadiya serangan jantung.
Sedang penyakit akibat kurang gerak berikutnya ialah diabetes. Asupan makanan yang dikonsumsi tidak diolah oleh tubuh dengan baik menjadi energi karena kurang ativitas fisik, akibatnya terjadi penumpukan lemak dalam tubuh.
Ketika jumlah lemak tinggi bisa menyebabkan resistensi terhadap insulin dan tidak berfungsi dengan baik, akibatnya terjadi peningkatan gula dalam darah.
Baca juga: Dosen UM Surabaya: Ini Dampak dan Cara Mangatasi Body Shaming
Osteoatritis merupakan salah satu penyakit degeneratif yang sering dialami pada usia lebih dari 50 tahun.
Nyeri sendi bisa disebabkan karena kerusakan struktur sendi, kelemahan otot dan tendon, dan sendi yang paling sering mengalami nyeri adalah sendi lutut, panggul dan tulang belakang.
"Padahal bila dengan melakukan aktivitas rutin dapat menjaga kekuatan otot dan tulang, sehingga bisa mencegah nyeri sendi," jelas dia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.