KOMPAS.com — "
Als ik eens Nederlander was……… Kalau Saya seorang Belanda, apakah yang akan dicapai dengan pesta perayaan itu di sini, di Hindia? Apabila itu maksudnya menyatakan kegembiraan nasional, maka tidak bijaksana perayaan itu diadakan di sini, di negeri yang terjajah. Kau, manusia, lihatlah betapa kami merayakan kemerdekaan kami; cintailah kemerdekaan, karena senang sekali perasaan menjadi suatu bangsa yang merdeka, bebas dari segala penjajahan".Tulisan mahaberani itu dibuat oleh Soewardi Soerjaningrat dan membuat berang pemerintah kolonial. Ditulis di harian De Expres milik Douwes Dekker pada 1913, tulisan itu justru membawa "berkah". Ya, karena tulisan yang mengkritik habis-habisan betapa tidak bijaknya pemerintah kolonial untuk merayakan pesta 100 tahun kemerdekaan Belanda dari pendudukan Perancis itu, malah akhirnya menjadi awal dari momentum "kebangkitan" seorang Soewardi yang dikenal sebagai salah satu tokoh utama kebangkitan nasional.Sebagai hukuman karena tulisan itu, Soewardi lalu dibuang ke Belanda. Namun, di sanalah dia justru banyak melakukan perenungan dan melakukan "tafakur" atas apa yang dilihat, diamati, dan dirasakannya di Negeri Kincir Angin itu, termasuk keputusan ketika akhirnya dia meninggalkan atribut keningratannya dan mengganti namanya menjadi Ki Hajar Dewantara.
Selama di Belanda, banyak momentum "eureka" yang ia dapatkan dan dibawanya pulang ke Tanah Air, terutama di bidang pendidikan. Selama masa pembuangan itu, Soewardi mempelajari juga ilmu pendidikan secara formal dan mendapatkan sertifikat pendidikan bergengsi. Namun, lebih dari itu, banyak pemikiran mendasar tentang konsep pendidikan justru tumbuh dan mekar pada saat dirinya berada Belanda.
Di sana ia mendalami konsep-konsep pendidik Barat, seperti Frobel Montesori. Tak terkecuali konsep pendidikan Santiniketan dari India yang dipelopori oleh Rabindranath Tagore yang menggabungkan konsep nasionalisme, kebangsaan, serta ilmu pengetahuan dan teknologi dunia Barat. Soewardi atau Ki Hajar lalu meramu dan memasak semua itu menjadi konsep yang kelak menjadi landasan pendidikan nasional, dan legacy.
Momentum "eureka" di negeri asing itulah yang kemudian malah menjadi modal bagi pemuda Soewardi untuk membawa bangsa ini bangkit. Ya, bangkit!
Sinyal kebangkitan
Tak hanya Ki Hajar Dewantara, banyak kaum intelektual bangsa ini juga menemukan "eureka"-nya tentang konsep ekonomi Indonesia saat menimba ilmu di Belanda. Mohammad Hatta, misalnya.
Hatta mengenyam pendidikan di Sekolah Tinggi Ekonomi (Handels Hoge School) di Rotterdam, yang sekarang dikenal sebagai Erasmus University. Sepulang dari Belanda, Hatta membawa oleh-oleh berupa 16 peti berisi buku-buku tentang berbagai ilmu pengetahuan. Kiranya, itu cukup membuktikan betapa Hatta melakukan "tafakur" hebat selama 11 tahun di Belanda.
Di negeri asing itu Hatta menemukan "jati diri" sebenarnya. Pembelajaran dan pencerahan yang didapatkannya selama di Belanda itulah yang membantunya untuk mampu meninggalkan legacy luar biasa. Dari negeri asing inilah, Hatta secara perlahan dan pasti mengirimkan sinyal kepada negeri untuk bangkit.
Habibie juga menemukan "jati diri" dan cinta sejatinya kepada Tanah Air pada saat bersekolah di Jerman. Di kota Achen, Habibie terpuruk menangis, memanggil nama Tanah Air dan bersumpah akan memberikan darmanya kelak setelah kembali.
Bahkan, Gus Dur juga memerlukan waktu cukup lama untuk "bertafakur" dan melakukan perjalanan intelektualnya ke beberapa negara. Ia bahkan sempat mengalami beberapa kegalauan sebelum akhirnya menemukan "eureka"-nya, yaitu pemahaman tentang Islam yang sifatnya universal, yang kelak menjadi milestone dari penerapan paham pluralisme yang menjadi legacy pada masa kepemimpinannya dan menjadi salah satu milestone kebangkitan Indonesia.
Zona nyaman
Sangat mudah diamati bahwa banyak pelajar Indonesia di luar negeri yang hanya sibuk terpesona dengan keilmuan yang dimiliki bangsa asing. Terpesona di awal tidaklah salah. Namun, hendaknya kekaguman itu dijadikan pintu masuk untuk lebih berkontemplasi kepada diri sendiri dan permasalahan bangsa.