KOMPAS.com – Babe Sabeni punya obsesi, Si Doel—anaknya—tak jadi sopir oplet—angkutan umum—seperti dirinya. Meski tak lazim di kampungnya, Sabeni mati-matian membiayai kuliah Doel di jurusan teknik mesin. Sabeni ingin anaknya menjadi “tukang insinyur”.
“Alhamdulillah anak gue sudah jadi sarjana! Hai, orang kampung, Si Doel udah jadi tukang insinyur! Siapa bilang anak Betawi tidak bisa jadi insinyur?” ujar Babe Sabeni yang diperankan seniman Benyamin Sueb, begitu tahu Doel yang diperankan Rano Karno sudah resmi bergelar insinyur, dalam salah satu adegan sinetron itu.
Bagi penonton televisi era 1990-an, sepenggal cerita itu akan langsung menghadirkan serial “Si Doel Anak Sekolahan” di ingatan. Pada satu masa, orang Betawi cenderung dianggap “kampungan”, tak pernah bersekolah tinggi, apalagi menjadi “tukang insinyur” alias sarjana teknik.
Terlepas dari cerita si Doel, profesi insinyur sampai saat ini memang masih menjadi barang langka di Indonesia. Meskipun gelar insinyur punya kesan “berkelas”, data menunjukkan program studi terkait teknik dan sains tetap sepi peminat.
Bahkan, menurut Ketua Umum Pengurus Yayasan Pengembangan Teknologi Indonesia (YPTI) Marzan Aziz Iskandar, bila dibandingkan dengan negara lain di kawasan ASEAN dan Asia, jumlah mahasiswa teknik di Indonesia adalah yang paling sedikit.
”Dari seluruh mahasiwa di Indonesia, hanya 15 persen yang menuntut ilmu di bidang teknik. Bandingkan dengan Malaysia yang mencapai 24 persen, Korea 33 persen, dan Tiongkok 38 persen,” ujar Marzan, seperti dikutip harian Kompas, Jumat (3/3/2016).
Minim penghargaan
Ketua Umum Persatuan Insinyur Indonesia (PII) Hermanto Dardak menambahkan, sarjana teknik yang jumlahnya sudah sedikit itu pun sebagian di antaranya memilih bekerja di bidang lain. Menurut dia, minimnya penghargaan terhadap profesi insinyur adalah alasan di balik kedua fenomena itu.
Hermanto berpendapat, kondisi tersebut ditengarai tak lepas dari belum adanya sistem registrasi dan sertifikasi yang terintegrasi antara satu sub-bidang teknik dengan sub-bidang teknik lain. Sebagai akibatnya, insinyur lokal tidak mendapat cukup pengakuan dan kepercayaan dari pengguna tenaga kerja.
Rekam jejak berikut akreditasi dan sertifikasi itulah, ujar Hermanto, yang pada akhirnya akan memberikan dampak pada perbaikan penghargaan yang diterima para insinyur.
Sedang butuh-butuhnya
Seperti dilansir Kompas.com pada Jumat (1/1/2016), saat ini ada 750.000 insinyur di Indonesia. Dari jumlah itu, hanya sekitar 40 persen yang berkarya sesuai bidang keinsinyurannya.
Padahal, Indonesia seharusnya sedang butuh-butuhnya tenaga insinyur untuk menjalankan proyek infrastruktur yang menjadi prioritas program kerja Pemerintah.
“Ini yang kita khawatirkan. APBN kita akan menggarap banyak infrastruktur, seperti (jaringan) kereta api (serta) jalan tol di Sumatera dan Kalimantan. Investasi juga masuk. (Namun), hitung-hitungannya (kita) kekurangan sumber daya manusia di bidang teknik,” ujar Presiden Joko Widodo, seperti dikutip harian Kompas, Minggu (14/12/2014).
Berdasarkan data Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, nilai peluang pasar jasa konstruksi di Indonesia mencapai Rp 3.500 triliun. Merujuk data Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dan PII, alokasi pendanaan pengembangan infrastruktur Indonesia pada 2015-2019 bahkan mencapai Rp 5.519 triliun.
Dengan gelontoran dana fantasitis itu profesi insinyur pun semestinya akan sangat menjanjikan. Nah, tertarik menjadi insinyur?
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.