DOBO, KOMPAS — Pendidikan adalah kunci masa depan bangsa. Namun, di sejumlah daerah terpencil, ditemukan peserta didik ditelantarkan karena ketiadaan guru di sekolah. Proses belajar-mengajar tak lancar. Faktornya antara lain ketiadaan fasilitas dan distribusi guru yang tak merata.
Salah satu temuan ketidakhadiran guru yang membuat anak didik telantar ada di Kabupaten Kepulauan Aru, Maluku. Guru-guru sering meninggalkan sekolah selama berbulan-bulan karena memilih tinggal di Dobo, ibu kota kabupaten.
Persoalan ini ditemui Kompas dalam Ekspedisi Kas Keliling Bank Indonesia Provinsi Maluku pada 3-9 Mei. Persoalan serupa mengemuka saat kunjungan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy yang meninjau pelaksanaan ujian nasional SMA di Dobo, April lalu.
Bupati Kepulauan Aru Johan Gonga mengatakan, ada julukan guru ujian bagi guru-guru di daerah pedalaman. "Guru-guru baru hadir jika siswa sudah mau ujian. Sebab, para guru lebih senang berada di kota. Kami sulit memaksa guru tinggal di pedalaman karena rumah dinas guru tidak tersedia," ujar Johan.
Ekspedisi yang diikuti Kompas mendatangi daerah Wamar di Kecamatan Pulau-pulau Aru, Kola di Kecamatan Aru Utara, dan Trangan di Kecamatan Aru Selatan Timur. Di SD Negeri Batugoyang, Kecamatan Aru Selatan Timur, guru yang mengajar didominasi peserta program Sarjana Mendidik di Daerah Terdepan, Terluar, dan Tertinggal (SM3T).
"Mereka (guru yang ditempatkan pemerintah daerah) lebih banyak di Dobo. Dengan kehadiran kami, itu bisa membantu siswa," kata Dian Navi (24), guru SM3T yang ditemui dalam perjalanan dari Batugoyang ke Dobo, pekan lalu. Guru-guru resmi memilih membangun rumah di Dobo.
Pemerhati masalah pendidikan di Maluku, Stanley Ferdinandus, mengatakan, kondisi serupa tidak hanya terjadi di Kepulauan Aru, tetapi juga sebagian besar kabupaten lain di Maluku. Menurut dia, penyelenggaraan pendidikan yang masih di bawah standar ada di hampir semua pulau kecil di Maluku.
Masalah yang sama ditemukan di sejumlah kawasan terpencil lainnya, seperti di Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, Sumatera Utara, Papua, dan bahkan Jawa Barat.
Data Dinas Pendidikan Papua, misalnya, menunjukkan sekitar 40 persen dari total 28.012 guru di provinsi itu, yakni 11.204 orang, mangkir dari tempat tugas. Kondisi ini tak hanya terjadi di kawasan pinggiran dan terpencil, tetapi juga di perkotaan.
Pihak Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengakui masih kurangnya kehadiran guru atau kepala sekolah di daerah terdepan, terluar, dan tertinggal (3T). "Memang kehadiran guru atau kepala sekolah masih rendah di daerah 3T," ujar Sumarna Surapranata, Direktur Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan Kemdikbud, Sabtu.
Sumarna menjelaskan, untuk memenuhi guru di daerah 3T. Kemdikbud memiliki program Guru Garis Depan (GGD). Tahun ini, sebagai lanjutan tahun lalu, akan segera dikirimkan 6.296 orang GGD di 128 kabupaten untuk 28 provinsi.
Bersama dengan Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan dilakukan penelitian di lima kabupaten, antara lain Keerom, Ketapang, dan Kaimana. Penelitian itu untuk mencari model bagaimana mengatasi tingkat kehadiran guru dan sistem pengawasan dengan melibatkan masyarakat, antara lain agar kehadiran guru/kepala sekolah lebih baik.
Mendikbud mengingatkan, daerah harus berkomitmen kuat untuk memajukan pendidikan di daerah masing-masing. Sebab, sebagian besar dari 20 persen anggaran fungsi pendidikan dalam APBN sudah dikucurkan ke daerah. "Dengan tambahan dana APBN seharusnya dapat memperbanyak anggaran di APBD. Namun, kenyataannya banyak daerah yang bergantung ke pusat dalam dana pendidikan daerahnya," kata Muhadjir.
Menurut Sumarna, pengangkatan guru honorer masih dikaji karena melibatkan banyak instansi terkait, seperti Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi serta Kementerian Keuangan.
(Baca: Guru Honorer Dibutuhkan)