Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pak Guru dan Solidaritas Merapi

Kompas.com - 30/11/2010, 04:14 WIB

Antony Lee

Mulyadi terharu. Sepasang suami-istri yang sempat mengungsi di rumahnya saat erupsi Gunung Merapi datang untuk mencuci karpet yang dahulu mereka gunakan sebagai alas tidur. Beberapa orang lagi datang untuk mencangkul kebun di belakang rumahnya yang sempat digunakan untuk menampung sapi pengungsi.

Padahal saya sudah bilang (kepada mereka) tidak usah,” tutur Mulyadi sambil tersenyum saat ditemui di rumahnya di Desa Winong, Kecamatan Boyolali Kota, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah, beberapa waktu lalu.

Kini, suasana di rumah berkamar empat di atas lahan seluas sekitar 2.000 meter persegi itu kembali lengang. Sungguh bertolak belakang dengan sekitar sepekan sebelumnya ketika masih ada puluhan pengungsi yang tinggal di kamar, di ruang tamu, bahkan di teras rumah Mulyadi, mantan guru sekolah dasar yang kini bertugas sebagai pengawas sekolah di Kecamatan Mojosongo, Kabupaten Boyolali, itu.

Sekitar 20 hari Mulyadi yang biasanya tinggal di rumah itu hanya bersama istrinya, Sri Wahyuni, harus berbagi ruang privasi dengan puluhan, bahkan sempat 160 pengungsi, dari Kecamatan Selo dan Cepogo. Hal ini tentu bukan hanya dilakukan keluarga Mulyadi, melainkan juga sukarelawan lain yang terketuk hatinya melihat penderitaan sesama.

Dari empat kamar yang ada, Mulyadi memilih satu kamar untuk ditempatinya bersama istri, mertua, dan beberapa kerabatnya yang turut mengungsi. Sementara tiga kamar lainnya digunakan beberapa sukarelawan medis serta warga pengungsi, terutama yang sudah uzur.

Semula tak ada niat Mulyadi mendirikan posko pengungsi erupsi Gunung Merapi di rumahnya. Awalnya dia hanya menjadi sukarelawan pada Lembaga Bakti Kemanusiaan Umat Beragama (LBKUB), sebuah organisasi lintas keyakinan yang bergerak di bidang sosial. Dia bertugas mengantarkan logistik makanan ke lokasi pengungsian di Desa Klakah, Jrakah, dan Lencoh (Selo).

Pada Rabu (3/11) sore, Gunung Merapi mengeluarkan awan panas berentetan. Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi pada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral lalu memperpanjang daerah rawan dari radius 10 kilometer (km) menjadi 15 km.

Namun, Mulyadi tetap mengantar ransum sehingga sempat terjebak di Klakah, 5-6 km dari puncak Merapi. Dengan mobil Toyota Kijang buatan tahun 1995, bersama seorang relawan, ia membawa 1.200 bungkus nasi. Suasananya mencekam karena petir menyambar-nyambar di puncak Merapi, diikuti suara gemuruh. Api pijar tampak dari puncak Merapi. Sementara abu vulkanik membuat pohon bertumbangan.

”Saya kebetulan menelepon saudara, dia sedang menonton televisi dan mengatakan arah awan panas ke Kali Gendol (Sleman). Karena itu, saya pulang ke arah Selo,” kenang Mulyadi.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com