Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pantaskah Kita Berbangga Diri di 70 Indonesia Merdeka?

Kompas.com - 18/08/2015, 07:45 WIB
Oleh Indy Hardono 

KOMPAS.com - Hari ini, 17 Agustus 2015, kita dengan suka cita merayakan kemerdekaan Indonesia yang ke-70. Apa yang sudah dicapai bangsa ini setelah 70 tahun? Sudah pantaskah
kita berbangga diri?

Human Development Index (HDI) Indonesia sebagai salah satu tolak ukur perkembangan suatu negara memang mengalami peningkatan dari urutan 121 pada 2012 menjadi urutan 108 di 2014, yang kemudian membuat kita masuk kategori negara Medium Human Development.
Namun, tengoklah Singapura dan Malaysia, yang umurnya jauh lebih 'muda'.

Peringkat HDI Singapura dan Malaysia jauh di atas kita. Masing-masing "tetangga" kita itu ada peringkat 9 dan 62, dan masuk kategori Very High Human Development dan High Human Development. Sementara itu, Vietnam, si "anak kemarin sore", secara perlahan tapi pasti sudah mengintai di posisi 121.

Keajaiban Jepang

Seperti juga Indonesia, Jepang pun pernah terpuruk pada 1945, menyusul kekalahan mereka dalam perang dunia kedua. Namun, Jepang membutuhkan kurang dari 50 tahun untuk bangkit dari keterpurukannya, yang bukan saja sudah hancur secara fisik lantaran dibumihanguskan oleh AS dengan dijatuhkannnya bom atom di Hiroshima dan Nagasaki, namun juga keterpurukan harga diri dengan kekalahan yang memaksa sang kaisar, sang putra matahari, sang panutan, mengakui kekalahan Jepang dan menyerah tanpa syarat kepada sekutu.

Peace Memorial Museum di Hiroshima merupakan etalase kesedihan, kehancuran, keputusasaan Jepang, terlebih karena banyaknya anak-anak tak berdosa menjadi korban bom atom. Yushukan War Memorial museum di Tokyo, yang merupakan museum sejarah kemiliteran Jepang, bahkan bercerita banyak tentang catatan kelam dan kesedihan para ibu yang harus merelakan putra tercintanya menjadi penerbang Kamikaze yang "kontrak mati" dalam penyerangan Pearl Harbor. Atau, kesedihan para kakak perempuannya yang harus merelakan para adiknya tewas di pertempuran di Birma.

Namun, dari kedua museum tersebut, anehnya, tidak tertangkap sedikitpun pesan tentang penyesalan atau pesimisme bangsa Jepang. Justru, yang jelas terasa adalah aura semangat, patrotisme, pantang menyerah, dan totalitas untuk bangkit lagi, bahkan dari titik nol sekalipun!

Kemajuan Jepang bukanlah keajaiban, melainkan diperoleh melalui semangat juang yang tinggi, disiplin dan kerja keras yang dilandasi nilai lhuru budayanya. Budayalah yang dijadikan panglima sehingga apapun yang mereka lakukan tak pernah melenceng dari budaya dan nilai luhur tersebut.

Budayalah yang menyatukan rakyat Jepang, dan menggerakkan diri mereka untuk maju. Mereka membangun spirit dan jiwa bangsa terlebih dahulu melalui budaya sebelum mereka membangun kembali negaranya secara fisik.

Hal serupa dilakukan oleh Mahathir Muhammad di era 80-an, yaitu saat membawa Malaysia dari negara berbasis pertanian dan perkebunan yang sama sekali tidak diperhitungkan menjadi negara industri. Bukan infrastruktur atau menara kembar dulu yang dibangun, tapi identitas nasional dan jiwa kebangsaan yang menjadi prioritas. Mahathir mengucurkan investasi besar-besaran di sektor pendidikan untuk mendidik anak muda Malaysia yang berkarakter, yang percaya diri dan berjiwa.

"Quo vadis" jiwa kebangsaan?

Lalu, kemana jiwa yang membawa bangsa yang tidak memiliki infrastruktur apapun, kas negara yang kosong, bangsa yang masih banyak penduduknya buta huruf tapi berani menyatakan kemerdekaannya 70 tahun lalu? Kemana?

Kita tanyakan pada diri kita sekarang, mengapa kita saat ini lebih senang meributkan perbedaan ketimbang mencari 'common ground' kita sebagai batu pijakan. Common ground itu adalah budaya dan nilai luhur. Sama seperti Jepang, kita juga punya modal budaya yang sangat kuat seperti budaya gotong royong, pengabdian, kesetiaan, patriotisme dan kebersamaan.

Nah, mengapa kita lebih senang membangun lebih banyak mal dibandingkan gedung kesenian yang bagus untuk membangun jiwa anak bangsa? Mengapa anggaran pendidikan kita lebih diprioritaskan untuk membangun infrastruktur, tapi bukan pada pengembangan kapasitas guru (teachers development)? Mengapa pendidikan karakter, agama dan budi pekerti masih bersifat dogmatif dan normatif dan belum eksploratif dan analitis?

Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com