Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 05/09/2015, 13:08 WIB
Latief

Penulis

BANGKOK, KOMPAS.com – Di usianya yang memasuki 70 tahun, perkembangan Indonesia secara keseluruhan memang stagnan, kalau tak mau dibilang jalan di tempat. Sebagai salah satu tolak ukur perkembangan suatu Negara, Human Development Index (HDI) Indonesia  memang mengalami peningkatan dari urutan 121 pada 2012 menjadi urutan 108 di 2014. Angka itu membuat Indonesia masuk dalam kategori negara Medium Human Development.

Medium? Dengan kekayaan alam yang dibanggakan sebagai negeri 'gemah ripah loh jinawi' Indonesia hanya masuk dalam kategori medium? Hanya itu yang diraih Indonesia di usianya yang jauh lebih dewasa dibandingkan tetangganya; Singapura dan Malaysia?

Faktanya memang begitu. Kita tak bisa mungkiri. Peringkat HDI Singapura dan Malaysia memang jauh di atas Indonesia. Masing-masing "tetangga" kita itu ada peringkat 9 dan 62, dan masuk kategori Very High Human Development dan High Human Development. Sementara itu, Vietnam, si "anak kemarin sore", secara perlahan tapi pasti sudah mengintai di posisi 121.  
Apa yang salah?

Bukan "Macan Asia"

Sejatinya, Indonesia ibarat orang tua yang sangat cukup umur. Usia beranjak sepuh, bahkan sangat matang. Matang segala-galanya. Punya rumah besar dan mewah, secara finansial sangat tercukupi, tabungan menggembung dengan investasi di mana-mana. Sangat cukup untuk hidup anak-cucu.

Semestinya, tak ada yang tidak dimiliki Indonesia. Jangankan hutang menumpuk, piutang pun kalau perlu dijadikan semacam program corporate social responsibility (CSR), yang disumbangkan Indonesia untuk Negara-negara tetangganya yang lebih membutuhkan. Indonesia sudah tak perlu itu, duitnya banyak!

Tapi, kenyataannya tak demikian. Bukankah kita masih saling sibuk menyalahkan karena rupiah terjerembab dihantam dollar AS? Pemimpin kita saling serang lantaran korupsi dan mempertahankan jabatan. Sementara di sekolah, orang tua, guru, dan kita semua menangis dan marah lantaran anak-anak didik kita di sekolah saling bullying.

Kita lupa sejarah, sepertinya. Padahal, jika sejenak mau menengok kembali sejarah masa lalu, kita dan Jepang misalnya, pernah sama-sama terpuruk akibat perang. Bahkan, Jepang lebih hancur lebur akibat ulahnya sendiri pada Perang Dunia Kedua setelah bertekuk lutut kepada Amerika dan Sekutu. Baik secara fisik maupun mental, Negara Matahari Terbit itu hancur berkeping-keping dihantam bom atom di Hiroshima dan Nagasaki.

Lalu, apa yang terjadi? Jepang membutuhkan tak kurang dari 50 tahun untuk bangkit lagi dari keterpurukannya. Budaya tak mau menyerah telah menyatukan rakyatnya. Pemimpin mereka berdiri di depan, menggerakkan rakyatnya untuk maju bersama-sama bergandeng semangat untuk membangun kembali negaranya.

Kini, siapa tak kenal Jepang? Raksasa otomotif dan teknologi dunia, yang bahkan perlahan-lahan sejajar dengan “musuh” yang mengalahkannya dalam perang; Amerika Serikat.
Malaysia dan Singapura pun begitu. Meski lebih muda merdeka dari Indonesia, keduanya bisa “menyalip” di tikungan saat Indonesia “lengah” ketika Indonesia begitu bangga disebut-sebut sebagai "Macan Asia".

Ya, di era 80-an, siapa tak kenal Mahathir Muhammad, yang sukses membawa Malaysia dari negara berbasis pertanian dan perkebunan menjadi negara industry? Dari Negara yang tak diperhitungkan oleh Indonesia sekalipun, Malaysia berhasil mengejar ketinggalannya. Mahathir mengucurkan investasi besar-besaran di sektor pendidikan untuk mendidik anak-anak muda Malaysia yang berkarakter, penuh percaya diri dan berjiwa maju.

Lalu, bagaimana dengan Singapura? Jangan dibandingkan dengan kita! Bukan tidak percaya diri, tapi sebaiknya kita memang harus belajar banyak dari Negeri Kepala Singa itu.

Khusus di tingkat ASEAN saja, Indonesia masih bertengger di posisi keenam. Indonesia berada di bawah Singapora, Brunei Darussalam, Malaysia, Thailand, dan Filipina. Adapun di bawah Indonesia sudah siap menguntut Vietnam dan Myanmar.

Sekali lagi, apa yang salah dengan kita?

M LATIEF/KOMPAS.com Prof Harjanto Prabowo, Rektor Binus University, mengatakan orang-orang Indonesia lupa tentang betapa pentingnya anak didik punya keterampilan untuk hidup (life skill), bukan cuma kepentingan memiliki nilai Matematika tinggi. Selama ini semua yang dipelajari di sekolah hanya diukur dengan nilai akademik.
Pendidikan yang jujur

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Lengkapi Profil
Lengkapi Profil

Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.

Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com