Sadarlah, Jujurlah, Indonesia Semakin Tua dan Tak Lagi Kaya Raya…

Kompas.com - 05/09/2015, 13:08 WIB
Latief

Penulis

Prof Harjanto Prabowo, Rektor Binus University, mengatakan orang-orang Indonesia lupa tentang betapa pentingnya anak didik punya keterampilan untuk hidup (life skill), bukan cuma kepentingan memiliki nilai Matematika tinggi. Selama ini semua yang dipelajari di sekolah hanya diukur dengan nilai akademik.

"Mengajari anak punya nilai Fisika tinggi itu susah, tapi lebih susah lagi ketika anak didik kita menemukan masalah Fisika dan tahu cara mencari solusi masalahnya itu," ujar Harjanto saat menyampaikan materi ‘Mengelola Pengetahuan di Sekolah; Pendekatan system Leadership’ kepada para guru peserta School Executive Excursion 2015 yang digelar Binus University di Bangkok, Selasa (1/9/2015) lalu.

"Kalau itu berhasil, maka kita boleh bangga bahwa kita sudah berhasil mendidik anak. Kita belum sepenuhnya berani melakukan itu. Kita, guru, orang tua, belum seutuhnya berpikir demikian. Maunya nilai harus bagus, titik," tambahnya.

Menurut Harjanto, pada tahapan usianya saat ini para anak didik tidak hidup hanya di sekolah. Mereka juga bagian dari kelompok di masyarakat dan lingkungannya. Ia berharap, jangan sampai pendidikan sudah level SMA, tapi si anak didik tidak punya life skill seusia anak SMA.

"Mereka tidak bisa cepat ambil keputusan, mereka sulit menyelesaikan masalahnya sendiri lewat pengetahuan yang didapatkannya di sekolah. Jangan sampai pelajaran di sekolah bagus semua, tapi tidak membuat si anak punya kemampuan menyelesaikan masalahnya di lingkungan," kata Harjanto.

"Pada akhirnya kita cuma mendidik anak-anak kita menjadi robot, yang tak mengerti apa-apa. Banyak sarjana kita yang seperti ini setelah mereka lulus. Perusahaan menuntut ini dan itu, tapi ternyata si sarjana tak bisa apa-apa. Apakah kita tidak kasihan," tambahnya.

Tentu saja, jika ditarik garis lurus, semua itu bermuara pada pendidikan. Data menunjukan bahwa dalam dimensi pendidikan rata-rata lama sekolah Indonesia hanya 5,8 tahun. Ini jauh berada di bawah negara ASEAN lain seperti Singapura (10,1 tahun), Malaysia (9,5 tahun), Filipina (8,9 tahun), Brunei Darussalam (8,6 tahun), dan Thailand (6,6 tahun).

Itu baru soal durasi, belum bicara kualitas pendidikan yang mencakup kurikulum, tenaga pendidik, infrastruktur pendidikan, dan lain-lain. Kita masih bicara kurikulum yang kerap gonta-ganti, tambal sulam kebijakan, dana pendidikan selalu kurang, sekolah-sekolah rusak, kaum difabel termarjinalkan, dan lain-lain yang bikin kita sendiri mengurut dada.

Kita tak sadar, bahwa persaingan kini sudah terdengar membosankan. Orang-orang sudah tak lagi saling mematikan lewat ilmu pengetahuan, tapi mencari cara untuk bekerjasama dengan keunggulan masing-masing.

Begitu juga yang seharusnya terjadi pada sistem pendidikan nasional kita. Sekolah harus bekerjasama dengan anak didik, dengan guru, dengan orang tua, dengan pemerintah, dengan sekolah lain. Tak cuma di Negara sendiri, tapi juga kerjasama dengan Negara lain.

Anak-anak Indonesia saat ini harus tahu, bahwa Negara Indonesia bukan Negara kaya raya dengan minyak bumi, dengan pertanian. Anak didik kita harus tahu kondisi itu. Pengelola pendidikan dari tingkat bawah sampai tingkat tinggi di pemerintahan harus jujur menyampaikan itu dan bersiap diri menyambutnya.

"Kita harus jujur memaparkan kondisi itu agar anak-anak kita berpikir ke depan dia mau apa dan harus berbuat apa. Kita kondisikan mereka menyiapkan diri bagi dirinya sendiri dan negaranya dengan semua kondisi itu. Kalau kita kasih tahu Indonesia Negara kaya raya gemah ripah, anak didik kita cuma terbuai cerita lama. Mereka cuma hidup dengan mimpi. Pendidikan kita harus berani menyampaikan pada mereka dan membentuk mereka siap menghadapi itu di masa mendatang,” ujarnya.

Tak ada kata lain, pendidikan karakter anak didik harus semakin dijunjung tinggi. Sistem pendidikan nasional harus memperkuat life skill anak didik agar siap menghadapi zaman yang terus berubah.

Lebih dari itu, pengelola pendidikan pun harus siap dan jujur memberikan ilmunya kepada anak didik, bahwa Indonesia, tempat mereka berpijak saat ini, sudah semakin rusak. Hasil buminya semakin menipis, bahkan sebagian sudah habis. Korupsi meraja, membabi buta, lengkap dengan hutang negara sebagai bebannya.

"Itu pendidikan jujur yang harus kita berikan. Kalau life skill mereka kokoh, secara akademik mereka meningkat, mereka bakal menjadi masyarakat yang bisa menyelesaikan masalahnya sendiri, dan masalah bangsanya yang menumpuk," katanya.

Siapkah kita? Ketika lahan pertanian sudah menipis berganti gedung-gedung tinggi dan pabrik, kita akan katakan apa kepada anak didik? Bekal apa yang akan kita siapkan untuk mereka?

Jika minyak bumi juga sudah habis, apa yang mereka perlukan dalam ilmunya agar kelak siap dengan kenyataan itu? Mau kemana anak-anak lulusan SMK dan insiyur lulusan perguruan tinggi jika tak tahu cara membetulkan motor dan mobil yang semakin diproduksi besar-besaran?

Sadarlah, Indonesia semakin tua dan tak lagi kaya raya…

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:


komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau