SURABAYA, KOMPAS.com - Banyak orang Indonesia cenderung "mendewakan" gelar pendidikan untuk anak-anaknya. Di sisi lain mereka lupa, kemajuan industri begitu cepat dan tidak banyak menyerap tenaga kerja siap pakai sesuai kebutuhan mereka.
Fakta menyebutkan bahwa sumber daya manusia paling besar dan siap pakai di Indonesia adalah para lulusan Sekolah Menengah Kejuruan. Data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menyebutkan saat ini ada sekitar 12 ribu SMK di seluruh Indonesia dengan jumlah lulusan per tahun sekitar 1,3 juta orang.
Dari data itu, jumlah siswanya mencapai 4,4 juta orang. Jumlah siswa SMK tercatat lebih banyak dibandingkan jumlah siswa yang mencapai SMA 4,3 juta orang.
Mirisnya, jika mengacu data Badan Pusat Statistik (BPS), tingkat pengangguran terbuka di Indonesia medio Februari 2017 lalu malah didominasi oleh siswa SMK. Tingkat pengangguran terbuka atau TPT memang mengalami penurunan menjadi 5,33 persen dari Februari 2016 yang sebesar 5,50 persen.
Dari 131,55 juta orang yang masuk sebagai angkatan kerja, terdapat 124,54 juta orang yang bekerja, dan sisanya 7,01 juta orang dipastikan pengangguran.
Namun, Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Kecuk Suhariyanto mengatakan, berdasarkan pendidikannya, tingkat pengangguran terbuka terendah berada di jenjang pendidikan Sekolah Dasar (SD) ke bawah yakni 3,54 persen.
Tingkat pengangguran terbuka sektor pendidikan dari jenjang Sekolah Menengah Pertama (SMP) sebesar 5,36%, Sekolah Menengah Atas (SMA) sebesar 7,03%. Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) 9,27%. Diploma III (D3) sebesar 6,35%, dan universitas 4,98%.
"Yang tertinggi sebesar 9,27% pada jenjang pendidikan SMK, ke depan SMK ini jurusannya perlu diperluas, agar tidak ada kekeliruan link dari yang dipelajari SMK dengan yang dibutuhkan dunia kerja," jelasnya.
Link and match
Dirjen Pembinaan Pelatihan dan Produktivitas (Binalattas), Bambang Sartrio Lelono, tidak menampik betapa mengkhawatirkannya kondisi yang dipaparkan BPS tersebut. Pada seminar nasional "Revitalisasi SMK untuk Produktivitas dan Daya Saing Bangsa" di Jawa Timur, Selasa (29/8/2017), Bambang mengatakan ada dua hal masalah ketenaga kerjaan yang terkait angkatan kerja siap pakai ini.
"Masalah pertama adalah under qualified, dan yang kedua adalah link and match dengan dunia kerja atau industri," ujar Bambang.
Bambang mengatakan, sejak 2007 Kementerian Tenaga Kerja sudah melakukan upaya revitalisasi pendidikan vokasi. Hanya, sampai saat ini hasilnya belum juga memuaskan.
"Lulusan SMK masih paling banyak yang mengganggur. Hasilnya belum memuaskan, karena daya dukungnya juga masih kurang. Ini PR besar kita untuk bekerjasama, baik itu pemerintah, dalam hal ini juga Balai Latihan Kerja (BLK), lembaga pendidikan, dan industri," ujar Bambang.
Beruntung, kesadaran itu perlahan menguat. Banyak dinas pendidikan mulai membuka kerjasama dengan pihak industri untuk masuk ke SMK-SMK di daerahnya, baik di tingkat kabupaten maupun provinsi. Industri pun terlibat lebih jauh bukan lagi sekadar praktik kerja lapangan, tapi ikut membenahi kurikulum, memfasilitasi proses belajar dan mengajar, hingga rekrutmen bekerja setelah lulus atau beasiswa melanjutkan ke jenjang pendidikan lebih tinggi.
"80 persen kurikulum di SMK itu masih teori, sisanya praktik. Nah, ini harus kita ubah total bersama-sama industri. Pendidikan vokasi itu tidak bicara jangka pendek, makanya harus disiapkan lewat pelatihan vokasi. Perlu dicatat, bahwa di BLK itu 80 persennya adalah lulusan SMK," ujar Bambang.