Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bondhan Kresna W.
Psikolog

Psikolog dan penulis freelance, tertarik pada dunia psikologi pendidikan dan psikologi organisasi. Menjadi Associate Member Centre for Public Mental Health, Universitas Gadjah Mada (2009-2011), konselor psikologi di Panti Sosial Tresna Wredha “Abiyoso” Yogyakarta (2010-2011).Sedang berusaha menyelesaikan kurikulum dan membangun taman anak yang berkualitas dan terjangkau untuk semua anak bangsa. Bisa dihubungi di bondee.wijaya@gmail.com. Buku yang pernah diterbitkan bisa dilihat di goo.gl/bH3nx4 

Hardiknas, Ki Hadjar, dan Perilaku Orangtua Hadapi “Technoference” Revolusi Industri 4.0

Kompas.com - 07/05/2018, 09:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Gampang, tapi susah.Dari sisi alam perguruan atau sekolah tentu Technoference juga berpengaruh, jangan sampai guru sebagai perwakilan orangtua di sekolah juga berperilaku sama dengan orangtua di rumah yang lebih banyak menghabiskan waktu didepan smartphone dibandingkan di depan anak.

Mari kita lihat sekilas pendidikan di Finlandia,yang saat ini menjadi acuan tempat pendidikan paling bermutu didunia, mendahulukan penanaman kebiasaan membuang sampah pada tempatnya, mengantri, berperilaku sopan pada orangtua, meminta maaf apabila melakukan kesalahan, dan sebagainya.

“Tiga puluh tahun yang lalu, Finlandia memiliki sistem pendidikan yang sangat buruk” kata Dr. Darling Hammond, profesor pendidikan di Universitas Stanford. Titik balik terjadi pada 1970-an ketika pemerintah merombak sistem pendidikan ketika semua guru sekolah diwajibkan untuk mengambil gelar Master – tentu dibiayai oleh pemerintah.

Kurikulum pendidikan Finlandia hanya berupa garis besar, guru dituntut untuk kreatif dan mandiri untuk menentukan proses belajar-mengajar. Karena fungsi pemerintah dalam memajukan sektor pendidikan adalah dukungan finansial dan legalitas berupa sekolah gratis 12 tahun. Bukan malah disuruh hutang (student loan).

Menurut staf ahli menteri pendidikan Finlandia Dr. Pasi Sahlberg –yang sudah menerbitkan 15 buku tentang pendidikan, sebelum usia 16 anak tidak diberikan segala macam ujian dan pekerjaan rumah (PR) karena pada usia tersebut anak bukan untuk dinilai dan dibanding-bandingkan yang bisa menghancurkan tujuan belajar dan kepercayaan diri anak. Evaluasi prestasi anak hanya dibandingkan dengan prestasi sebelumnya, bukan prestasi anak lain.

Anak diajarkan untuk mengevaluasi dirinya sendiri dibimbing oleh guru sejak pra-TK. “Ini membantu siswa belajar bertanggung jawab atas pekerjaan mereka sendiri” Kata seorang kepala sekolah SD Poikkilaakso, Finlandia. Bahkan “menyekolahkan” anak sebelum usia 7 tahun bisa dianggap melanggar hak anak untuk bermain.

Pada usia tersebut anak didorong untuk mengeksplorasi dunianya, mempersiapkan diri untuk belajar, dan mencari minat-bakatnya (passion). Satu-satunya “ujian nasional” wajib, dilakukan saat usia anak 16 tahun.

Mayoritas sekolah merupakan sekolah inklusif, semua anak berhak mendapatkan pendidikan berkualitas. Berdasarkan data PISA (Programme for International Student Assessment), pada usia 15 tahun gap perbedaan antara anak yang berprestasi baik dan buruk sangat tipis.

Hampir semua memiliki kemampuan yang setara di ranah membaca, matematika, dan sains atau STEM (Science, Technology, Engineering, Math). Program-program pengajaran dilakukan guru untuk membimbing anak sampai ke level individu, oleh karena itu kelas tidak terlalu besar tapi juga tidak terlalu kecil. Pada kelas sains rata-rata diisi 16 siswa. Guru menghindari kritik negatif atau menyalahkan langsung kepada siswa yang bisa menjatuhkan kepercayaan diri, karena siswa yang malu cenderung terhambat dalam belajar.

Guru merupakan profesi terhormat di Finlandia sejajar dengan dokter atau pengacara. Hanya lulusan terbaik yang menjadi guru. Fakultas pendidikan merupakan fakultas populer dan terketat persaingannya seperti fakultas kedokteran atau hukum.

Regulasi pemerintah menyatakan guru diberikan waktu mengajar rata-rata 4 jam sehari di dalam kelas. Mereka juga dibayar 2 jam seminggu untuk “professional development”. Padahal guru-guru di Finlandia saat ini digaji rata-rata diantara negara eropa yang lain, bahkan masih lebih rendah dari gaji guru di Amerika –yang banyak dikeluhkan sangat rendah di antara negara maju.

Jadi, nampaknya gaji bukan merupakan faktor utama untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Anggaran pendidikan Finlandia tidak habis untuk menggaji guru melalui sertifikasi dan semacamnya. Namun langsung dialokasikan kepada peningkatan kualitas guru baik melalui beasiswa Master maupun kegiatan-kegiatan yang meningkatkan “professional development”.

Tentu segala prestasi yang dicapai oleh sistem pendidikan Finlandia tidak bisa serta merta di “contek” begitu saja di Indonesia. Kita harus akui dan belajar dari sistem yang ada di sana, namun harus selalu disesuaikan dengan kondisi dan budaya setiap bangsa.

Menurut Dr. Sahlberg “Only dead fish, follow the stream.” Untuk membuat sistem pendidikan yang sukses, selalu harus melihat tujuan pendidikan. Untuk apa ada pendidikan nasional? “Kami tidak berusaha untuk menjadi yang terbaik di dunia, kami hanya berusaha untuk lebih baik dari Swedia. Itu cukup bagi kami.” Lanjut Dr. Sahlberg

Sumber :
https://onlinelibrary.wiley.com/doi/full/10.1111/cdev.12822

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com