RAJA AMPAT, KOMPAS.com - Speed boat yang memuat selusin wisatawan asal Jakarta bergerak melambat saat mendekati Kampung Lopintol di distrik Teluk Mayalibit, Kabupaten Raja Ampat.
Nahkoda speed boat berteriak, menyebut sebuah nama. Tak lama kemudian, seorang pemuda berambut keriting yang berada di tepi pantai, berlari menuju dermaga.
Dengan cepat dan ringan ia melompat ke atas perahu. Mundi Daman, namanya.
Ia seorang siswa SMA di Waisai, Kabupaten Raja Ampat, ikut dalam sebuah perahu motor yang mengantar serombongan wisatawan ke Kali Biru di kawasan distrik Teluk Mayalibit.
Anak dari Kampung Lopintol itu diajak nahkoda perahu untuk ikut mendampingi wisatawan menelusuri keindahan Kali Biru.
Lopintol merupakan salah satu kampung yang terdekat dengan destinasi pariwisata Kali Biru. Ayah Mundi dan sebagian besar masyarakat kampung itu bekerja sebagai nelayan.
Mundi tak bicara banyak bila tak ditanya. Tangan dan kakinya bergerak cepat dan kuat menarik perahu ketika perairan makin dangkal.
Sekali perjalanan, Mundi mendapat Rp 200.000 untuk jasa menemani wisatawan sekaligus anak buah di perahu motor itu.
Siswa kelas XI di sebuah SMA di Waisai tersebut setiap hari menempuh perjalanan satu jam dengan sepeda motor untuk sampai di sekolahnya.
Sehari setelah Hari Pendidikan Nasional, ia tidak bersekolah. Tiga hari sudah ia tak ikut pelajaran di kelas. Alasannya, ia mesti menghadiri upacara kematian.
“Ada duka. Bapa tua meninggal dunia,” katanya tersipu malu, Kamis (3/5/2018).
Adat dan pendidikan
Upacara kematian merupakan salah satu momentum penting dalam kehidupan masyarakat Indonesia, utamanya Papua dan Papua Barat.
Keterlibatan dan kehadiran keluarga di dalam berbagai acara adat adalah mutlak.
Seorang guru di SMP Momi Waren, Kabupaten Manokwari Selatan, Papua Barat, Sahril Anci, mengatakan siswa bisa tidak hadir di kelas selama beberapa hari karena mengikuti aturan adat.