Dampak Penelitian "Black Hole" untuk Indonesia

Kompas.com - 19/04/2019, 22:26 WIB
Yohanes Enggar Harususilo

Penulis

KOMPAS.com - Dunia penelitian sempat dihebohkan munculnya citra pertama dari lubang hitam supermassive atau black hole (11/4/2019). 

Berangkat dari hal ini, Dosen Fisika Teori Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya,  Bintoro Anang Subagyo memberi tanggapan mengenai dampak penemuan tersebut terhadap perkembangan sains dan teknologi, khususnya di Indonesia.

Dilansir dari laman ITS (16/4/2019), Bintoro ini menyebutkan keberhasilan pengamatan black hole  merupakan salah satu pembuktian teori relativitas umum Einstein yang paling ekstrim.

Selain itu, Bintoro menganggap penemuan ini merupakan pembenaran mengenai keberadaan supermassive black hole dipusat galaksi yang telah lama diyakini para ilmuwan.

Teleskop 4 benua

Melalui laman resmi ITS Bintoro memaparkan selama ini penggambaran black hole hanya didasarkan pada simpulan terkait aktivitas benda-benda disekitar black hole.

Sementara citra black hole yang berhasil didapatkan baru-baru ini, menurut Bintoro, cukup sukses memperlihatkan bagian-bagian black hole seperti yang telah disimulasikan. “Meskipun resolusinya rendah, hal ini tetap saja luar biasa,” pujinya.

Baca juga: 10 Universitas Negeri dengan Jumlah Penelitian Terbanyak

Gambar ini sendiri merupakan black hole yang terletak di galaksi Messier 87. Area cerah pada gambar merupakan material pada cakram akresi yang terpanaskan saat masuk ke dalam black hole, sementara bayangan gelap di tengah adalah lubang hitam itu sendiri.

Para astronom merilis gambar pertama dari lubang hitam ini setelah mengamatinya selama dua tahun terakhir melalui delapan teleskop radio di empat benua, yang tergabung dalam jaringan Event Horizon Telescope (EHT).

Setiap teleskop mengumpulkan sejumlah besar informasi tersendiri. Adapun total data yang terlibat dalam proses pengambilan gambar ini mencapai lebih dari lima petabyte (1 petabyte = 1.000 terabyte). Jumlah yang cukup untuk menyimpan file MP3 dengan durasi 5.000 tahun.

“Proyek ini tidak hanya melibatkan peran fisikawan sebagai pengembang teori, tetapi juga kerjasama engineer dari berbagai bidang keilmuan,” sambung Pembina Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Astronomi ITS ini.

Adapun beberapa bidang yang menurut Bintoro pasti terlibat diantaranya adalah informatika dan teknik komputer.

Masih jadi "penonton"

Bintoro juga menyayangkan bahwa negara berkembang seperti Indonesia masih sukar untuk andil dalam riset elit semacam ini. “Ini mungkin menjadi sisi buruk dari penemuan black hole, kita (Indonesia) hanya menjadi penonton,” tuturnya.

Bintoro mengaitkan hal ini dengan arah kebijakan riset Indonesia yang menuntut implementasi praktis dalam masyarakat.

Sementara menurutnya, riset mengenai fisika teoritis termasuk black hole, implementasinya dinilai baru akan dirasakan dalam jangka waktu yang sangat lama. Terlebih, dana yang dibutuhkan dalam riset ini tentunya tidak sedikit.

Namun, Bintoro tidak mengecilkan kemungkinan pakar-pakar Indonesia akan turut berpartisipasi pada proyek serupa. Kolaborasi adalah kunci yang disebutkan Bintoro.

Tidak hanya fisikawan, teknokrat dari berbagai bidang tentunya diperlukan dalam kolaborasi ini. “Meskipun bukan dalam institusi, kolaborasi masih dapat dilakukan dalam ranah individu,” paparnya.

Disisi lain, Bintoro mengakui bahwa riset mengenai black hole memang bukan lagi pada jaman keemasannya, meski tren tersebut kembali menanjak beberapa waktu belakangan.

Banyak hal yang masih menjadi misteri para ilmuan seperti paradoks informasi dalam black hole. Bintoro mengklaim penemuan black hole ini pastinya menggelitik rasa penasaran para fisikawan serta engineer untuk berkompetisi dan mengambil bagian sesuai bidang keilmuannya. Tentunya dukungan pemerintah sangat dibutuhkan dalam hal ini.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau