KOMPAS.com - Seiring perkembangan zaman, budaya manusia terus mengalami kemajuan. Modernisasi dalam bidang perekonomian, politik, pendidikan, dan lainnya dilakukan untuk meningkatkan kualitas hidup manusia.
Di abad ke-21 ini, angka rerata harapan hidup, sebagai salah satu indikator kualitas hidup manusia, meningkat cukup signifikan dibandingkan abad-abad sebelumnya.
Namun, ada satu faktor menjadi pengacau peningkatan usia harapan hidup, yaitu kematian akibat terorisme. Ini merupakan satu ironi tersendiri yang selalu merongrong kemajuan peradaban manusia dari abad ke abad.
Siapa yang tidak lupa akan peristiwa 9/11 di Amerika Serikat? Terorisme yang merenggut nyawa hampir 3.000 jiwa dan mencederai 6.000-an korban. Belum pudar luka manusia setelah peristiwa nahas di awal pergantian milenium ini, terorisme kembali menorehkan kepedihan melalui peristiwa Bom Bali 2002.
Baca juga: Kampus Tempat Pemajuan Bangsa, Bukan Tempat Radikalisme
Belum genap dua dasawarsa, di tahun 2019 ini, dunia kembali dikejutkan dengan aksi terorisme. Pada bulan Maret 2019, aksi terorisme kembali merenggut nyawa melalui aksi penembakan di sebuah masjid di kota Christchurch, Selandia Baru.
Sebulan kemudian, pada April 2019, sejumlah gereja dan hotel di Sri Lanka pun turut menjadi medan aksi terkutuk para teroris.
Seluruh contoh aksi tersebut adalah tindakan terorisme. Secara definisi luas, terorisme adalah aksi atau tindakan penggunaan kekerasan secara sengaja dengan tujuan menciptakan teror dan menyampaikan pesan dari ideologi tertentu terhadap pihak sipil atau non-militer lainnya.
Berdasarkan data terorisme global yang disusun oleh Universitas Maryland, Amerika Serikat, aksi terorisme telah merenggut nyawa lebih dari 150.000 jiwa di dua dasawarsa awal abad ke-21.
Jumlah insiden terorisme pun mengalami peningkatan signifikan pada linimasa tersebut dibandingkan dengan rentang waktu serupa di abad-abad sebelumnya.
Sebagian besar tindakan terorisme ini dilandasi dengan radikalisasi. Radikalisasi adalah suatu proses penanaman ideologi politik, agama, atau sosial tertentu secara ekstrem.
Radikalisasi menolak mengakui dan menerima status quo di dalam struktur sosial atau pemerintahan, serta menginginkan adanya perubahan secara cepat dan masif ke arah ideologi ekstrem dari pelakunya.
Radikalisasi menjadi legitimasi tindakan terorisme bagi para pelakunya ketika mereka sudah tidak puas terhadap tatanan sosial yang ada.
Radikalisasi menjadi jalan pintas bagi perubahan yang mereka inginkan, karena mereka merasa bahwa perubahan sosial yang mereka inginkan sudah tidak dapat dilakukan secara progresif dan bertahap.
Ketika kita mencari cara untuk mencegah sesuatu, tentunya kita harus mencari penyebabnya terlebih dahulu. Penyebab dari suburnya bibit-bibit radikalisasi tidak dapat disederhanakan menjadi poin-poin simpel begitu saja, ada banyak sekali faktor yang berpotensi menjadi pupuk radikalisme.