Banyak orang yang beranggapan bahwa kesenjangan sosial dan ekonomi menjadi salah satu pemicu utama dari adanya radikalisasi yang berujung pada terorisme. Padahal, ada faktor yang lebih fundamental lagi dalam menjadi penyebab, yaitu pendidikan.
Pendidikan yang dimaksud pun bukan sekadar ada atau tidak adanya pendidikan, melainkan isi dari pendidikan itu sendiri. Pendidikan yang dibutuhkan untuk mencegah radikalisasi adalah adanya penanaman fondasi karakter dan keilmuan yang kuat.
Fondasi karakter utama diperlukan adalah toleransi. Karena radikalisasi menuntut pelakunya untuk melakukan homogenisasi terhadap ideologinya, ia akan mengabaikan toleransi.
Ketika seorang individu memiliki fondasi toleransi yang kuat, ia akan menyadari bahwa perbedaan adalah hal yang lumrah; tiap individu memiliki latar belakang ekonomi, sosial, keyakinan, serta ideologi yang berbeda, sehingga ia akan belajar untuk menyeimbangkan koeksistensi antar tiap individu.
Sayangnya, tidak semua institusi pendidikan memfasilitasi pengadaan fondasi toleransi ini. Masih ada pihak-pihak yang malah melakukan selebrasi terhadap homogenitas, sehingga ironisnya malah semakin memberi ruang untuk pertumbuhan radikalisasi.
Faktor berikutnya adalah nalar sebagai salah satu komposisi keilmuan. Selain toleransi, pendidikan harus betul-betul serius dalam menyediakan penyampaian ilmu. Ilmu pengetahuan yang disampaikan harus menyeluruh, tidak hanya sekadar menyampaikan informasi belaka.
Dalam radikalisasi itu sendiri, banyak kelompok yang memberikan ilmu pengetahuan seperti ilmu merakit bahan peledak, menjebol sistem keamanan, dan lain-lain.
Jika ilmu pengetahuan yang diberikan oleh institusi-institusi pendidikan yang ada hanya memfasilitasi penyampaian informasi, maka apa bedanya dengan keilmuan yang diberikan dalam radikalisasi?
Oleh karena itu, ilmu pengetahuan disampaikan harus disertai dengan kemampuan bernalar baik.
Pertama, penalaran yang ditanamkan adalah penalaran mengenai proses pendidikan itu sendiri. Ketika penyampaian ilmu pengetahuan dalam sebuah institusi pendidikan dilakukan, hal fundamental pertama harus ditanamkan adalah pemahaman pendidikan itu sendiri adalah sebuah proses.
Setiap peserta didik harus dibiasakan untuk memahami bahwa untuk mencapai suatu tujuan harus ada proses. Dalam bahasa sederhana, untuk bisa menguasai sebuah materi, harus ada proses pembelajaran seperti membaca, latihan, diskusi, dan sebagainya.
Semua itu harus ditanamkan sebagai komponen-komponen wajib dalam proses alami pendidikan. Ini dapat membantu mencegah radikalisasi, karena radikalisasi menghendaki perubahan tanpa adanya proses alami.
Penalaran kedua adalah pemikiran kritis (critical thinking). Salah satu aspek fundamental dalam pemikiran kritis adalah ilmu pengetahuan tidak boleh diterima secara mentah begitu saja.
Dalam proses penyerapan ilmu, setiap subjek dari ilmu pengetahuan memiliki daya ukur dan daya uji sendiri. Ketika pembelajar sanggup memahami ini, ia akan membangun kebiasaan (habit) dalam mengukur dan menguji ilmu yang ia pelajari.