KOMPAS.com – Sekolah Indonesia Cepat Tanggap (SICT) berlokasi di Desa Kerandangan, Senggigi, Lombok Barat, meraih penghargaan "The FuturArc Green Leadership Award 2019" tingkat Asia pada 23 April 2019 untuk kategori Institusi.
SICT dinyatakan layak mendapatkan penghargaan karena dinilai memiliki 2 keunggulan yakni (1) segi material sederhana dan murah, serta (2) desain modular yang bisa mempercepat konstruksi dan menghadirkan lingkungan belajar berkualitas.
Menurut Guru Besar Departemen Arsitektur FTUI Yandi Andri Yatmo sebagai salah satu pelopor pembangunan sekolah tersebut, dia dan teman-teman memulai proyek itu secara sukarela sebagai salah satu bentuk kepedulian terhadap korban bencana gempa bumi yang terjadi beberapa kali di Lombok, Sumbawa, dan sekitarnya pada 2018.
Dia menuturkan, ada empat hal yang diperhatikan dalam membuat desain sekolah itu sehingga dinyatakan layak memperoleh penghargaan The FuturArc Green Leadership Award 2019.
“Ini proyek voluntary. Kami nekat mulai membangun, lalu mencari dana. Waktu membuat desain SICT ini, kami mempertimbangkan empat hal, yaitu mendesain dengan cepat, membangun dengan cepat, berbahan murah, dan berkualitas baik,” ujar Yandi dalam diskusi di Kampus UI Depok, Rabu (29/5/2019).
Setelah mendatangi lokasi ditentukan, dia bersama teman-teman mengidentifikasi kebutuhan yang harus dibangun sekolah itu. Sesuai keterangan warga setempat, diperoleh informasi mengenai fasilitas dan jenis ruangan yang mereka perlukan.
Baca juga: Mau Belanja Buku dan Perlengkapan Sekolah Murah? Ayo Datang ke Gramedia
Namun, desain yang dibuat tidak hanya tergantung kebutuhan itu, tetapi Yandi juga menambahkan ruangan lain yang bisa meningkatkan kualitas lingkungan belajar.
“Mereka butuh ruang guru, ruang kelas, perpustakaan, dan toilet untuk SD dan TK. Kami tambahkan ruang antara, selasar, dan tribun. Kami percaya itu dibutuhkan untuk suasana belajar yang beda karena menyangkut lingkungan,” imbuhnya.
Yandi mengaku, kelebihan lain dari material yang dipakai di bangunan sekolah itu diusahakan agar semuanya dipakai secara efektif dan tidak ada yang dibuang.
Dia menyadari semua usaha dan material digunakan di sana juga merupakan bantuan banyak orang sehingga dia merasa bertanggung jawab dan tidak ingin menyia-nyiakan kepercayaan itu.
“Kami lakukan ini karena semua dana itu ada ibadahnya, orang menyalurkannya atas niat baik. Kami akan merasa bersalah kalau material itu terbuang percuma sehingga kami bertanggung jawab pada desain yang kami buat,” tuturnya.
Sementara itu, Paramita Atmodiwirjo salah satu anggota tim desain sekaligus Guru Besar Departemen Arsitektur FTUI mengungkapkan, salah satu keunggulan bangunan sekolah itu adalah kondisi ruangan berbeda dari sekolah pada umumnya, termasuk sekolah darurat yang biasa dibangun sementara setelah terjadi bencana.
Dinding di sekolah itu dilukis tema binatang, suasana alam, dan angka-angka untuk berhitung. Selain itu, taman dan arena bermain di luar ruangan juga didesain untuk media pembelajaran, misalnya ada garis berwarna-warni meliuk-liuk di halaman sekolah.