KOMPAS.com - Laju musim digital kian tak terbendung. Ia membasahi seluruh kehidupan saat ini. Dari interaksi sosial hingga hubungan ekonomi pembayaran. Segalanya dikendalikan aktivitas jemari yang mengakses media berbasis internet.
Perkembangan dunia digital di Indonesia, negara anyar di kelompok berpendapatan menengah, sungguh menakjubkan.
Laporan Google, raksasa mesin pencari dunia menyebutkan, hingga akhir 2019 nilai ekonomi berbasis internet tersebut mencapai USD40 miliar, setara Rp560 triliun dengan kurs Rp14 ribu per dolar AS.
Dengan nilai fantastis tersebut, Indonesia menjadi kontributor terbesar pertumbuhan ekonomi digital di Asia Tenggara. Bahkan diperkirakan, pada 2025 ukuran ekonomi digital Indonesia mencapai empat kali lipat dari sekarang.
Demam digital yang menjadi tren dunia telah direspons dengan baik oleh pemerintah.
Setidaknya, hal itu terlihat dari tuntasnya proyek serat optik sepanjang 36 ribu kilometer yang dikenal dengan Palapa Ring. Dengan demikian, peluang terkoneksinya seluruh wilayah di negeri ini semakin besar melalui sambungan jaringan internet.
Baca juga: Menguatkan Digitalisasi Sekolah di Natuna, Daerah Terluar Indonesia
Tentu saja respons infrastruktur digital saja tidak cukup. Jangan sampai justru menjadi ruang berkarya tenaga kerja asing.
Pasalnya, ada persoalan mendasar bagi Indonesia terkait dengan perkembangan dunia digital itu, yakni sumber daya manusia.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pasokan tenaga kerja Indonesia sulit untuk beradaptasi dengan perkembangan yang ada. Jika hal ini tidak diurus dengan baik oleh pemerintah, peluang perkembangan ekonomi digital Indonesia yang sangat besar justru menjadi ancaman serius.
Menurut perkiraan pemerintah, hingga 2030 diperlukan sekitar 17 juta tenaga kerja di bidang ekonomi digital. Di antaranya, untuk sektor manufaktur dan jasa industri.
Dunia digital yang termasuk dalam kategori jasa, sejatinya membutuhkan pekerja dengan keahlian khusus. Tak mudah beradaptasi dengan tingkat permintaan tersebut, kecuali melalui sistem pendidikan, baik umum maupun khusus dari segi jangka waktu.
Hingga saat ini, data BPS menyebutkan bahwa sebagian besar tenaga kerja Indonesia didominasi oleh low skill labor atau tenaga kerja dengan keahlian rendah.
Indikasinya, hingga Februari 2019, dari 129 juta angkatan kerja, lebih dari separuhnya atau sekitar 58 persen (75 juta) merupakan angkatan kerja dengan tingkat pendidikan paling tinggi sekolah lanjutan tingkat pertama (SLTP).
Angkatan kerja dengan tingkat pendidikan SLTA/sederajat menyumbang sekitar 29 persen (38 juta) dari total angkatan kerja. Adapun sisanya berasal dari tingkat pendidikan akademi/universitas, yaitu hanya 13 persen (16 juta).
Begitulah potret tenaga kerja kita. Sekitar 87 persen merupakan lulusan SLTA ke bawah dan sebagian besar asyik di sektor pertanian dan perdagangan yang relatif tidak membutuhkan keahlian khusus.