Dari Depok sampai Kesengsem Lasem, Kisah Tiga Lulusan FIB UI Berkontribusi ke Masyarakat

Kompas.com - 29/02/2020, 15:57 WIB
Wahyu Adityo Prodjo

Penulis

KOMPAS.com - Lasem, Le Petite Chinois. Sebuah julukan yang berarti Lasem, kota kecil yang ramai di Jawa Tengah itu kini semakin bersinar. Dahulu, Lasem hanya dikenal sebagai perlintasan di jalur Pantai Utara Jawa.

Jauh sebelum meredup, Lasem dikenal sebagai kawasan Pecinan yang menjadi tempat perdagangan candu di Pulau Jawa pada abad ke-19. James R Rush dalam bukunya, Opium to Java, mencatat Lasem sebagai corong candu pada 1860-an.

Namun, kini Lasem hidup dengan narasi yang baru. Sebuah destinasi wisata yang penuh dengan kisah sejarah dan mengedepankan nilai-nilai toleransi antara tradisi Islam, Tiongkok, dan Jawa. Lasem bukan kota tua. Ia kini dikenal dengan destinasi wisata yang penuh dengan kekayaan sejarah, kuliner, dan Instagramable.

Siapa sangka, salah satu kebangkitan Lasem saat itu dipicu dari kegelisahan dan kecintaan sekelompok anak muda lulusan Universitas Indonesia, Depok yang menyukai Lasem dari segala sisi. Batik, masyarakat, pelestarian cagar budaya, dan pariwisata. Mereka, Agni Malagina (40), Astri Apriyani (33), dan Ellen Kusuma (31) mendirikan komunitas Kesengsem Lasem.

Ketiga perempuan tersebut merupakan lulusan Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia. Agni lulusan program studi (prodi) Sastra Cina. Astri atau akrab disapa Atre, lulusan prodi Sastra Indonesia dan Ellen merupakan lulusan prodi Sastra Jerman.

Mereka bertiga awalnya tak saling kenal. Pertemuan saat kegiatan sosial dan jejaring mempertemukan mereka hingga terus menjalin pertemanan dan bergiat bersama di Kesengsem Lasem.

"Ketemu Atre banget pas trauma copping di Pangandaran pasca tsunami," kenang Agni saat menceritakan pengalamannya.

Sementara, Ellen mengenal Agni melalui jejaring penulisan di era 2008, Multiply. Perkenalan Ellen dan Agni berlanjut dengan diskusi-diskusi tentang budaya.

Dari sana, mereka berkomunikasi dengan intens. Dari ketertarikan yang sama, mereka memutuskan untuk melakukan perjalanan ke Lasem. Berawal dari saran editor Majalah National Geographic Indonesia, Agni berangkat hingga akhirnya menjadikan Lasem sebagai obyek penelitian.

Kesengsem Lasem memberdayakan masyarakat

Wisatawan berfoto di depan pintu masuk Kelenteng Poo An Bio, Desa Karangturi, Kecamatan Lasem, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah, Minggu (12/2/2017). Kelenteng Poo An Bio adalah satu dari tiga kelenteng yang ada di Kecamatan Lasem.KOMPAS.com / GARRY ANDREW LOTULUNG Wisatawan berfoto di depan pintu masuk Kelenteng Poo An Bio, Desa Karangturi, Kecamatan Lasem, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah, Minggu (12/2/2017). Kelenteng Poo An Bio adalah satu dari tiga kelenteng yang ada di Kecamatan Lasem.

Saat itu, tiba-tiba Ellen mengatakan, “Aku kesengsem Lasem.” Kesengsem adalah bahasa Indonesia diadaptasi dari bahasa Jawa, yang artinya “sangat tertarik hati (tergila-gila) sehingga terlupa diri; terpesona”. Begitulah awal mula cerita nama Kesengsem Lasem seperti diceritakan dalam websitenya.

Warga Pecinan Lasem mendukung mereka untuk menebarkan virus "Kesengsem Lasem" melalui media sosial.

Kesengsem Lasem lahir pada tanggal 9 Februari 2016 di Lasem dengan dukungan kolaborasi bersama Rudy Hartono, Soebagio Soekidjan, Gandor Sugiharto, Soesantio, Gus Zaim, Alex ‘Leklek’ A. Wachyudi dan stake holder lainnya di Lasem termasuk akademisi dari Arsitektur UNS Solo, Kusumaningdyah Rully dan timnya, peneliti Syerfi Luwis, dan Suwanti mahasiswa FIB UI.

Kesengsem Lasem hadir untuk membangkitkan kecintaan warga Lasem dan diasporanya serta publik pencinta wisata se-Nusantara untuk ikut bersahabat dengan kata kunci: Pusaka, Pelestarian dan “semua indah pada tempatnya” yang menjadi denyut gerakan ini di Lasem.

Kesengsem Lasem adalah sebuah aktivitas, gerakan, dan perasaan untuk menjaga kelestarian warisan benda dan non benda di Lasem.

Di Kesengsem Lasem, mereka berbagi tugas untuk melakukan kegiatan-kegiatan seperti mencari data penelitian, memotret bangunan-bangunan untuk konten media sosial, dan bersosialisasi ke masyarakat sekitar.

"Ide-ide fotonya Atre itu yang kemudian jadi inspirasi banyak orang untuk ngikutin gaya-gayanya. Misal foto pake kebaya encim jadul hasil pinjeman. Foto pake kain batik-batik lucu dari pengusaha-pengusaha batik seantero Kota Tua Lasem dengan modal minjem," jelas Agni.

Pergerakan mereka tak sekedar foto-foto dan berwisata kuliner. Ada nilai-nilai yang dibagikan dalam setiap unggahan ke media sosial sesuai dengan misi Kesengsem Lasem yaitu menyebarkan kesadaran dan kepedulian akan warisan benda dan non-benda di Lasem melalui media sosial dan website.

Kelompok Sekar Laras memainkan musik gamelan di pelataran Klenteng Cu Ang Kiong, Desa Dasun, Kecamatan Lasem, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah, Sabtu (11/3/2017). pergelaran gamelan di kelenteng rutin diadakan saat menyambut acara-acara hari kebesaran. Salah satunya adalah Cap Go Meh.KOMPAS.com / GARRY ANDREW LOTULUNG Kelompok Sekar Laras memainkan musik gamelan di pelataran Klenteng Cu Ang Kiong, Desa Dasun, Kecamatan Lasem, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah, Sabtu (11/3/2017). pergelaran gamelan di kelenteng rutin diadakan saat menyambut acara-acara hari kebesaran. Salah satunya adalah Cap Go Meh.

Atre misalnya menuliskan kisah perjalanannya ke Lasem ke beberapa media cetak maupun online. Kisah-kisah dari masyarakat setempat juga berhasil didokumentasikan dalam bentuk cerita.

Mereka juga mengajak rekan-rekan berkolaborasi untuk mengenalkan dan memberdayakan Lasem melalui kegiatan. Ada nama-nama seperti desainer Didiet Maulana, komunitas fotografer Nikon, jurnalis, dan pegiat-pegiat wisata yang diajak berkolaborasi oleh Kesengsem Lasem.

"Kami buat gitu (event) bareng kawan-kawan Lasem karena ingin nyusahin kawan-kawan yang dateng ke Lasem aja sih hehe. Kami todong mereka untuk sharing buat anak muda, masyarakat Lasem Rembang yang berminat. Ya alhamdulilah, pasti ada aja yang ikut acara itu dan antusias," kata Agni.

Ellen bercerita salah satu upaya yang Kesengsem Lasem sering dorong adalah menyelenggarakan berbagai kegiatan yang bisa membuat pemangku kepentingan lokal berdaya, lebih hidup, dan turut merasakan kesenangan Kesengsem Lasem seperti acara klinik belajar

Bagi Agni, anak-anak muda di Lasem perlu disediakan ruang berjumpa dan diskusi ringan degan orang luar. Masyarakat sadar wisata yang mandiri, berorganisasi transparan, akuntabel, dan mampu berjejaring luas adalah salah satu misi mereka.

Ellen menambahkan yang dilakukan Kesengsem Lasem selain memotori gerakan #kesengsemlasem adalah menjadi menjembatani berbagai pemangku kepentingan untuk bisa mencapai sumber daya manusia yang dibutuhkan.

"Pada intinya, karena kita Kesengsem sama Lasem, yang orang-orang di dalamnya sudah super welcome sama kita, maka kita mencoba untuk give back to the community, sesuai dengan kapasitas kita juga," kata Ellen.

Nilai-nilai UI dalam kehidupan

Penjual Lontong Tuyuhan, Kastari (53) duduk di samping pikulannya di Sentra Kuliner Lontong Tuyuhan, Desa Tuyuhan, Kecamatan Pancur, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah, Jumat (10/2/2017). Sentra Kuliner Lontong Tuyuhan berada di Jalan Raya Lasem - Pandan. Lebih dari lima penjual Lontong Tuyuhan di sentra kuliner Lontong Tuyuhan.KOMPAS.com / Garry Andrew Lotulung Penjual Lontong Tuyuhan, Kastari (53) duduk di samping pikulannya di Sentra Kuliner Lontong Tuyuhan, Desa Tuyuhan, Kecamatan Pancur, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah, Jumat (10/2/2017). Sentra Kuliner Lontong Tuyuhan berada di Jalan Raya Lasem - Pandan. Lebih dari lima penjual Lontong Tuyuhan di sentra kuliner Lontong Tuyuhan.

Halaman:


komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau