Patriotisme Pegiat Alam Terbuka Pascaduka Susur Sungai SMPN 1 Turi

Kompas.com - 01/03/2020, 09:05 WIB
Ahmad Rizali,
Yohanes Enggar Harususilo

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Pimpinan, pesohor dan tokoh pendidikan Indonesia, yang selama ini terkesan memberi pendapat sangat buruk terhadap kegiatan alam terbuka dari jenjang SMP/MTs (Sispala) hingga Mahasiswa Pencinta Alam (Mapala) di berbagai Kampus, dengan kejadian hanyutnya siswa SMPN 1 Turi, Sleman, Yogyakarta, maka mereka akan semakin berpendapat bahwa kegiatan di alam terbuka sangat berbahaya dan tak berguna, sehingga akan berdampak ke pelarangan dan kegiatan yang sangat bagus ini menjadi ilegal tak masuk daftar kegiatan ektra kurikuler (Ekskul).

Meski Pramuka tidak dikesankan seperti Mapala/Sispala sebagai sosok murid/mahasiswa brengsek yang kumuh, tak disiplin, enggan patuh dan pembolos serta semua label buruk bisa disematkan kepada mereka.

Tetapi, betulkah demikian? Alm. Profesor Sujudi Rektor Universitas Indonesia (UI) pernah mengatakan bahwa sumbangan Mapala UI kepada citra baik UI jauh melebihi apa yang seharusnya mereka lakukan.

Ketika dalam Kongres Pancasila ke IX di Jogja akhir Juli 2017 dinyatakan sangat pentingnya sebuah kurikulum yang mampu menjadi acuan mendidik anak bangsa menjadi Pancasilais, mampu mempraktekkan Pancasila sebagai pengikat semua kebhinekaan di Indonesia (Latief, 2017).

Presiden Jokowi pasti langsung teringat bagaimana sebagai Pendaki Gunung berproses menjadi manusia Indonesia yang merdeka, ketika bertualang di alam terbuka dengan kendaraan organisasi Mapala.

Cawan Pelebur

Pramuka/Sispaka/Mapala sebagai organisasi kesiswaan/mahasiswaan, selalu menyediakan diri sebagai cawan pelebur kebhinekaan siswa/mahasiswa dalam spektrum yang sangat luas.

Mulai dari gender, keyakinan agama, prodi yang dipilih, asal suku, strata sosial hingga etnis, melebihi spektrum SARA (Suku Agama Ras dan Antar Golongan) yang dipopulerkan rejim Orba.

Di organisasi ini, sangat sering semua identitas di atas tak dikenal, apalagi dipertentangkan karena dalam praktek memang nyaris tak pernah dibicarakan.

Pramuka/Sispala/Mapala melebur mereka dalam sebuah ikatan kemanusiaan yang saling menghormati keberagaman yang mereka miliki.

Bahkan, tidak hanya dunia kesiswaan/mahasiswa yang ikut terjun dalam cawan pelebur ini, tetapi warga dari organisasi sejenis seperti Wanadri, korps penolong bencana dan kelompok Pencinta Alam lain seperti Kerabat Pencinta Alam, hingga institusi yang dalam prosesnya memerlukan kurikulum "petualangan" seperti Tentara dan Polisipun akan terikat menjadi satu ikatan manusia merdeka yang berbangsa Indonesia.

Meski prinsip utama kegiatan petualangan ini adalah kemerdekaan, tetapi prinsip lain yang wajib pula dipraktekkan dalam kegiatan yang pada dasarnya berbahaya seperti ini adalah memahami keamanan (safety) dan perilaku alam untuk akhirnya menyikapi dengan bijak.

Jika prinsip tersebut dipraktekan dengan benar, maka kecelakaan yang terjadi akan nihil, sehingga petualangan akan bisa dinikmati dan alam akan menjadi guru yang paling baik seperti kata bijak "alam takambang menjadi guru".

Hemat, Cermat dan Bersahaja

3 (tiga) kata itu sangat dikenal di dunia kepramukaan dan dipraktekkan dalam dunia kepencintaalaman, khususnya Sispaka/Mapala.

Hemat di sini lebih dari sekedar nilai ekonomis tetapi juga hemat dalam bersikap di alam terbuka. Tergopoh gopoh tidak akan menghemat energi tubuh dan boros gerak sehingga cepat lelah, padahal sangat sulit memperoleh asupan energi normal di alam terbuka.

Sikap ceroboh sangat berbahaya, sehingga cermat dalam menyikapi sifat alam mutlak dipakai. Tekanan udara, suhu, kecepatan angin, derasnya arus sungai dan semua petunjuk alam wajib difahami dan disikapi dengan bijak.

Halaman:


komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau