KOMPAS.com - Bangsa dan pemuda adalah ibarat sebuah kereta kuda. Bangsa adalah keretanya, pemuda adalah kudanya. Tanpa kuda (pemuda), kereta (bangsa) tak akan bisa bergerak.
Hal tersebut sudah dibuktikan dalam sejarah bangsa-bangsa di dunia, termasuk Indonesia.
Para penggerak berdirinya Boedi Oetomo, organisasi kebangsaan pertama yang bersifat nasional, 20 Mei 1908, adalah para pemuda seperti dr Soetomo dan dr Wahidin Soediroheoesodo.
Mereka adalah kaum terpelajar yang mengenyam pendidikan di perguruan tinggi atau mahasiswa.
Penggerak terselenggaranya Soempah Pemoeda 28 Oktober 1928 adalah para pemuda. Kebanyakan dari mereka adalah kaum terpelajar, atau pelajar dan mahasiswa.
Penggerak Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonrsia 17 Agustus 1945 adalah juga para pemuda.
Bahkan para pemuda tersebut sempat "menculik" Bung Karno dan Bung Hatta ke Rengasdengklok, Karawang, Jawa Barat, 16 Agustus 1945 agar keesokan harinya Bung Karno dan Bung Hatta memproklamasikan Kemerdekaan RI.
Begitu pun dalam peralihan kekuasaan dari rezim Orde Lama ke rezim Orde Baru, yang berperan besar dalam aksi-aksi demonstrasi adalah pemuda, pelajar dan mahasiswa.
Tak terkecuali dalam peralihan kekuasaan dari rezim Orde Baru ke Era Reformasi kini, yang sangat berperan dalam aksi-aksi demonstrasi adalah pemuda dan mahasiswa, termasuk mahasiswa Universitas Trisakti, Jakarta, almamater penulis.
Bahkan mahasiswa Trisakti ada yang gugur sebagai Pahlawan Reformasi.
Baca juga: Kemendikbud Beri Bantuan Modal untuk Wirausaha Mahasiswa
Dari serangkaian peristiwa tersebut, tak berlebihan bila kemudian pemuda, termasuk mahasiswa, mendapat julukan "the agent of change" atau agen perubahan.
Bahkan di masa pembangunan ini, pemuda dan juga mahasiswa mendapat julukan "the agent of development" atau agen pembangunan. Tentu termasuk pembangunan ekonomi.
Kini, pemuda dan mahasiswa dihadapkan pada tantangan baru di tengah pandemi Covid-19 yang sedang melanda dunia, termasuk Indonesia.
Tantangan tersebut adalah dapatkah pemuda dan mahasiswa menjadi agen penggerak ekonomi selama masa dan pasca-pandemi Covid-19 yang belum jelas kapan akan berakhir ini?
Hasil survei terbaru Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) menyebut sekitar 29 juta warga Indonesia mengalami Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) pada masa pandemi Covid-19 ini.
Di sektor formal, 6,4 juta orang pekerja terkena PHK atau dirumahkan akibat Covid-19.
Di sektor informal, pengusaha UMKM yang meminta untuk direstrukturisasi di perbankan berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sudah mencapai sedikitnya Rp 550 triliun dari total hampir Rp 1.100 triliun. Berarti sudah 50 persen UMKM terdampak Covid-19.
Laporan survei Asian Development Bank (ADB) juga menyatakan UMKM yang berhenti seketika karena terdampak Covid-19 total 48,4 persen dari 62 juta UMKM yang ada. Berarti kurang lebih hampir 30 juta UMKM.
Namun, sejarah telah membuktikan bahwa UMKM-lah yang sanggup bertahan ketika perekonomian Indonesia dihantam badai krisis. Kini, UMKM bahkan diharapkan kenjadi agen kebangkitan Indonesia dari keterpurukan ekonomi akibat pandemi Covid-19.