KOMPAS.com – Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Katolik Indonesia (Unika) Atma Jaya Jakarta, Lisa Esti Puji Hartanti mengatakan, Indonesia membutuhkan edukasi literasi media untuk perangi hoaks atau berita bohong.
“Situasi Indonesia saat ini darurat hoaks. Terlebih pandemi Covid-19, semakin banyak masyarakat mengonsumsi informasi pada media digital tanpa crosscheck (memeriksa kembali) kebenarannya,” ujarnya, seperti dalam keterangan tertulis yang Kompas.com terima, Senin (15/2/2021).
Lisa Esti menyatakan berdasarkan data Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) terdapat 1.387 hoaks di dunia maya selama pandemi Covid-19 (Maret 2020-Januari 2021).
Penyebaran hoaks yang begitu masif itu juga semakin diperkuat oleh hasil survei tentang literasi digital nasional 2020 yang dilakukan Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kominfo).
Survei yang dilakukan di 34 provinsi tersebut menyatakan 68,4 persen dari 670 responden pernah menyebarkan informasi tanpa mengecek kebenarannya. Sementara itu, 56,1 persen tidak mampu mengenali informasi hoaks.
“Oleh karenanya, edukasi literasi media dibutuhkan untuk mengembangkan kemampuan kritis dan kreatif warga dalam menyaring informasi palsu,” kata Lisa yang juga pernah menjadi bagian dari Program Grantee of Tanoto Foundation transformasi edukasi untuk melahirkan pemimpin masa depan (Teladan) 2013-2014.
Adapun pendidikan literasi media dapat berbentuk formal, nonformal, dan informal.
Edukasi formal terjadi dalam ruang kelas di sekolah. Kemudian, edukasi nonformal dapat dilakukan di mana dan kapan saja dengan target masyarakat umum.
Sementara itu, edukasi informal adalah pendidikan tidak terstruktur dan terjadi di dalam keluarga atau dilakukan mandiri.
"Ketiga bentuk edukasi ini, pada dasarnya terjadi di setiap negara. Namun, awal gerakan biasanya dimulai dari bawah ke atas, yaitu dari grassroots (inisiatif masyarakat),” ucap Lisa.
Dari inisiatif masyarakat, sambung dia, maka akan mendorong pemerintah untuk melegalkan literasi media dalam bentuk kebijakan.
Lisa mencontohkan beberapa negara, seperti Australia, Canada, New Zealand, dan Inggris yang sudah stabil menerapkan literasi pada media, termasuk digital dalam kurikulum pendidikan formal.
“Tak heran, peserta didik (di sana) dari sejak tingkat dasar sudah mendapatkan pengajaran tentang literasi media,” ujarnya.
Bahkan, lanjut Lisa, negara seperti di Eropa Barat mengembangan teori budaya, sosio-budaya, semiotik, dan berpikir kritis sebagai basis dalam pengembangan edukasi literasi media.
Namun, negara-negara ini pun mengalami awal gerakan yang dimulai dari inisiatif masyarakat, seperti yang dilakukan di New Zealand.