Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Siswa, Ada 3 Fakta Menarik Perahu Pinisi yang Sudah Ada Sejak 14 Masehi

Kompas.com - 05/02/2022, 18:01 WIB
Sandra Desi Caesaria,
Ayunda Pininta Kasih

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Pernahkah kamu menyanyi atau mendengar lagu “Nenek Moyangku Seorang Pelaut”?

Lagu tersebut sebenarnya menceritakan kondisi para leluhur bangsa Indonesia di masa lampau. Leluhur bangsa Indonesia, sudah terbiasa dengan perahu, lautan, dan berlayar. 

Karena wilayah Indonesia adalah kepulauan, maka wajar saja masyarakat di zaman dahulu menggunakan perahu untuk berpindah dari satu pulau ke pulau lainnya.

Salah satu kelompok masyarakat yang terkenal dan akrab dengan lautan adalah suku Bugis. Suku Bugis dikenal sebagai suku yang andal dan juga piawai dalam mengarungi lautan hingga samudra di Nusantara maupun dunia.

Baca juga: Sejarah Olahraga Renang, Sudah Ada sejak Zaman Batu

Para masyarakat Bugis, yang tinggal di wilayah selatan Pulau Sulawesi, lebih tepatnya di Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan ini mampu menaklukkan lautan dengan bermodalkan sebuah perahu legendaris, yakni perahu pinisi.

Tahukah kamu, perahu pinisi selalu mendapat perhatian hampir semua masyarakat internasional? Keunikan perahu ini, karena memiliki dua tiang utama serta tujuh buah layar. Tiga layar berada di bagian depan, dua di bagian tengah, dan dua di bagian belakang.

Perahu Pinisi sudah ada sejak abad 14 masehi

Dilansir dari laman Direktorat Sekolah Menengah Pertama Kemendikbudristek, Perahu ini sendiri memiliki sejarah panjang yang tertuang dalam naskah Lontarak I Babad La Lagaligo. Di dalamnya, perahu pinisi dikatakan sudah ada sejak abad ke-14 M.

Pada naskah tersebut, diceritakan perahu ini pertama kali dibuat oleh putra mahkota Kerajaan Luwu yang bernama Sawerigading. Sawerigading membuat perahu pinisi dari pohon welengreng (pohon dewata) yang dikenal cukup kuat dan juga kokoh. 

Baca juga: 10 Negara dengan Penduduk Paling Pintar di Dunia, Indonesia Nomor Berapa?

Perahu ini dibuat oleh Sawerigading untuk melakukan perjalanan menuju Tiongkok. Ia berminat mempersunting seorang putri Tiongkok yang bernama We Cudai. Setelah sekian lama ia menikahi We Cudai dan menetap di Tiongkok, Sawerigading ingin pulang ke kampung halamannya.

Singkat cerita ia pun menaiki perahu buatannya untuk kembali ke Luwu. Namun, ketika berada di dekat Pantai Luwu perahu Sawerigading menghantam ombak hingga terpecah.

Pecahan-pecahan perahu Sawerigading terdampar ke tiga tempat di wilayah Kabupaten Bulukumba, yaitu di Kelurahan Ara, Tana Beru, dan Lemo-lemo.

Pecahan-pecahan perahu ini kemudian disatukan kembali oleh masyarakat menjadi sebuah perahu megah yang dinamakan dengan Perahu Pinisi.

Cara membuat Perahu Pinisi

Ada tiga tahap dalam proses pembuatan perahu pinisi dengan cara tradisional yang dimiliki oleh suku Bugis.

Pertama adalah penentuan hari baik dalam pencarian kayu fondasi. Kayu yang digunakan sebagai bahan baku pembuatan perahu bisa berasal dari empat jenis kayu, yaitu kayu besi, kayu bitti, kayu kandole atau punaga, dan kayu jati.

Selanjutnya, kayu yang hendak digunakan akan dipotong dan dikeringkan terlebih dahulu sebelum akhirnya dirakit.

Baca juga: Sudah Ada sejak Zaman Hindu Buddha, Ini Sejarah Jamu Gendong

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com