KOMPAS.com - Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) telah resmi disahkan.
Tentu kabar ini menjadi angin segar bagi seluruh masyarakat dalam hal perlindungan kekerasan seksual.
Menanggapi hal tersebut Pakar hukum Universitas Airlangga (Unair), Dwi Rahayu Kristanti mengaku optimis momentum itu dapat menjadi langkah baik untuk mencapai keadilan bagi para korban kekerasan seksual.
"Dengan implementasi yang tepat, dan dukungan dari berbagai pihak, saya optimis tujuan awal dari perjuangan ini dapat terealisasikan," ujar dia melansir laman Unair.
Baca juga: Jika Siswa Alami Kekerasan Seksual, Lakukan 5 Langkah Ini
Dosen Fakultas Hukum (FH) Unair yang akrab disapa Yeyen itu menyoroti positif perspektif dalam UU TPKS ini.
"Berbeda dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), UU TPKS menggunakan orientasi kepada korban, sehingga dianggap dapat memberi keadilan bagi korban," ungkap alumni Flinders University itu.
Perspektif itu terlihat jelas pada tiga hak yang dimiliki oleh korban kekerasan seksual, yakni penanganan, perlindungan, hingga pemulihan.
Jika sebelumnya negara hanya bertanggung jawab sampai vonis dijatuhkan, kini negara bertanggung jawab juga dalam pemulihan korban.
"Hal ini saya anggap sebagai hal yang positif, karena seperti yang kita tahu, bahwa pemulihan menjadi hal yang penting, dan bisa jadi membutuhkan waktu yang tidak sebentar," lanjut dia.
Baca juga: Orangtua, Ini 6 Cara Edukasi Pencegahan Kekerasan Seksual pada Anak
Mengenai ruang geraknya, Yeyen berpendapat UU TPKS menjadi kado besar bagi korban yang selama ini tidak terakomodir dari perundang-undangan yang telah ada.
"Ada persyaratan dalam undang-undang kekerasan seksual selama ini, contohnya harus tinggal satu rumah dalam Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT), dan korban harus berusia dibawah 18 tahun dalam Undang-Undang Perlindungan Anak. Sedangkan kasus yang tidak menyentuh syarat-syarat tersebut akhirnya kini mampu diakomodir," kata dia.
Meski disambut positif, akademisi bidang hukum tata negara tersebut menekankan bahwa dengan adanya hukum tersebut berkemungkinan meningkatkan laporan kasus kekerasan seksual.
Kasus kekerasan seksual masuk dalam fenomena gunung es, yaitu lebih banyak kasus yang berada di bawah permukaan dibanding yang dilaporkan.
"Karena adanya dukungan akses dan jaminan bagi pelapor, maka masyarakat akan dikonstruksi agar lebih berani dan yakin dalam melaporkan kasus dalam lingkup kekerasan seksual," sebut dia.
Yeyen menjelaskan, UU TPKS tidak menjadi akhir bagi perjuangan penegakan hukum, melainkan sebagai langkah yang harus dilanjutkan dan diawasi.
"Perlu kerja sama dan kerja keras, bagi kita sesama masyarakat untuk memberikan awareness sebanyak-banyaknya termasuk kepada aparat penegak hukum," tutur dia.
Asal tahu RUU TPKS sudah mangkrak lama di DPR hingga 10 tahun. UU TPKS ini memasukkan sembilan bentuk tindak pidana kekerasan seksual, yaitu pelecehan seksual non-fisik, pelecehan seksual fisik, pemaksaan kontrasepsi, dan pemaksaan sterilisasi.
Baca juga: Rektor UGM Periode 2022-2027 Harus Fokus, Tidak Usah Nyambi
Lalu pemaksaan perkawinan, kekerasan seksual berbasis elektronik, penyiksaan seksual, eksploitasi seksual, dan perbudakan seksual.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.