Dari Kisah Miris hingga yang Inspiratif

Kompas.com - 02/05/2014, 21:03 WIB

”Guru-guru seperti ini memang tak melakukan kekerasan. Tapi, mereka melindungi siswa pelaku kekerasan. Itu artinya mereka tetap setuju kekerasan,” papar Retno yang juga menjabat Kepala SMA Negeri 76.

Tak kalah peliknya adalah tradisi kekerasan antara senior dan yunior. Dari sejumlah laporan yang diterima FSGI, tak sedikit sekolah yang masih abai terhadap pola kekerasan yang dilakukan siswa senior terhadap yunior. Contohnya, ada tangga khusus bagi siswa kelas III sehingga mereka tak perlu berjejalan. Contoh lain, penguasaan kantin dan area parkir sepeda motor oleh siswa kelas III.

Secara struktural, dari jajaran birokrasi hingga guru, juga terjadi kekerasan. Kepala dinas pendidikan menekan kepala sekolah agar seluruh siswanya lulus UN. Akibatnya, guru menekan guru kelas III. Selanjutnya, guru itu pun menekan para siswa agar lulus UN.

Mengikuti pemikiran Paulo Freire tentang pendidikan yang membebaskan, kata Retno, guru dan siswa memiliki posisi yang sejajar. Hanya fungsinya yang berbeda. Dalam posisi yang setara, akan tumbuh budaya diskusi. Permasalahan diselesaikan dengan komunikasi, bukan dengan tindakan fisik, kekerasan.

Dalam relasi yang setara, sekolah sebagai institusi pendidikan, tempat komunitas pendidik dan siswa, menjadi tempat pembangunan karakter. Anak-anak dari latar belakang keluarga yang beragam, suku dan agama berbeda-beda, tumbuh dengan karakter yang sehat, anti-kekerasan, dan menghargai sesama.

Sekolah semestinya menjadi ”taman” yang memungkinkan anak-anak tumbuh menjadi pribadi yang mandiri, percaya diri, dan tangguh. Pemikiran itulah yang mendasari tokoh pendidikan nasional, Ki Hadjar Dewantara, 92 tahun silam mendirikan lembaga pendidikan dengan nama Taman Siswa.

Akses bagi warga miskin

Mengenyam pendidikan tinggi bagi sejumlah warga Ibu Kota dan sekitarnya bisa jadi hanya angan-angan. Mahalnya biaya pendidikan menjadi faktor utama mimpi itu tak kesampaian.

Namun, bagi Darsono (59), uang tidak seharusnya menjadi penghalang bagi seseorang untuk mengenyam pendidikan setinggi-tingginya. Berbekal motivasi itulah, pria asal Bantul, DIY, ini mendirikan dan mengelola Universitas Pamulang (Unpam).

Unpam, oleh warga setempat, sering dipelesetkan sebagai ”Universitas Paling Murah”. Wajar saja. Biaya kuliah di kampus ini memang sangat murah. Waktu mendaftar, seorang mahasiswa tidak ditarik uang gedung puluhan juta seperti halnya kampus-kampus lain.

Uang kuliahnya sangat terjangkau bagi lapisan ekonomi menengah ke bawah, hanya Rp 200.000 per bulan! Tak heran, kampus ini dibanjiri puluhan ribu warga tidak mampu.

Di kampus itu, banyak mahasiswa yang bekerja, seperti pemulung, office boy, tukang jualan keliling, tukang parkir, tukang batu, kuli bangunan, dan pekerja rumah tangga. ”Salah satu alumnus kami yang dulu pemulung kini jadi dosen di sini,” kata Darsono.

Motivasi mengelola universitas dengan biaya paling murah itu jadi semacam pelampiasan bagi Darsono yang nyaris tak bisa sekolah waktu kecil. Ia menyadari, untuk bisa mengubah nasib warga, bergerak vertikal dalam strata sosial, pendidikan adalah salah satu caranya.

”Ini semacam balas dendam karena waktu itu saya untuk sekolah sulit,” katanya didampingi Rektor Unpam Dayat Hidayat.

Menurut Darsono, sewaktu masih di hidup kampung halaman, keinginannya untuk sekolah tidak didukung orangtuanya yang kurang mampu. ”Kalau orangtua tidak diikuti, kan, sering marah. Tapi saya memahami, karena budayanya, dan pola pikir orangtua waktu itu hanya sampai di situ. Tetapi saya nekat sekolah sehingga orangtua bilang saya harus pergi dari rumah,” katanya.

Halaman:


komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau