KOMPAS.com – Merantau ke negeri orang untuk menimba ilmu, apalagi sampai ke benua Eropa, bukan hal mudah. Ada banyak hal yang salah-salah bakal gampang membuat pelajar asal Indonesia terjerat "homesick".
Pengalaman seperti itu pernah dirasakan Ronny Anta Ginting. Dia adalah alumnus program sarjana jurusan International Logistic Management di Stenden University of Applied Sciences, Belanda. Enam bulan pertama tinggal di sana, kata dia, merupakan masa paling sulit.
"Perbedaan budaya, iklim, dan makanan memperkuat perasaan rindu Tanah Air dan keluarga, membuat saya tidak kerasan dan selalu membandingkan dengan kehidupan di Indonesia," tutur Ronny saat dihubungi Kompas.com, Senin (17/10/2016).
Kerinduan semakin memuncak, lanjut Ronny, saat musim dingin tiba. Berbeda dengan cuaca Indonesia yang cenderung hangat sepanjang tahun, Belanda sering kali "membeku" selama kurang lebih empat bulan dalam setahun.
"Beraktivitas ketika temperatur berada di bawah nol derajat merupakan tantangan tersendiri," ungkap Ronny.
Selama belajar di sana, Ronny melakukan sendiri beragam aktivitas harian seperti berbelanja, memasak, dan menyetrika baju. Sehari-hari dia pun menunggang sepeda untuk pergi pulang ke kampus.
"Hal lain adalah saya bertanggung jawab atas setiap keputusan yang dibuat tanpa ada intervensi dari orangtua ataupun keluarga," ucap pria kelahiran Lhokseumawe, Nanggroe Aceh Darussalam ini.
Metode belajar
Selain persoalan non-akademis, mahasiswa internasional seperti Ronny masih harus bergulat dengan tantangan perkuliahan. Maklum, pola pengajaran di Belanda dan Indonesia cukup berbeda.
Perbedaan yang mendasar, tentu saja, adalah semua mata kuliah diajarkan dalam bahasa Inggris. Selama proses belajar, metode yang dipakai juga berbeda.
"Mahasiswa diajarkan menjadi proaktif, berani berpendapat tanpa merasa takut salah," tutur Ronny.
Dosen di universitas tersebut, kata Ronny, mengajar secara interaktif. Murid didorong untuk bertanya dan mengemukakan pendapat secara bebas tetapi teratur dan sopan.
Sebaliknya, menurut Ronny, dosen pun sangat responsif terhadap kebutuhan siswa. Jika membutuhkan konsultasi terkait materi yang kurang dipahami, mahasiswa dapat menemui dosen kapan saja.
Meski demikian, berani mengungkapkan pendapat awalnya ditengarai menjadi tantangan tersendiri bagi mahasiswa internasional asal Indonesia. Hal ini antara lain diungkapkan oleh International Account Manager Stenden University of Applied Sciences, Jasper Hofman.
Menurut Hofman, hubungan antara dosen dan mahasiswa di kampusnya lebih egaliter. Mahasiswa asal Indonesia, ujar dia, sering kali butuh waktu cukup lama untuk menyesuaikan diri dengan model hubungan seperti ini.
"Namun, setelah mereka (mahasiswa dari Indonesia) berhasil melakukannya (menyesuaikan diri menjadi lebih aktif), mereka benar-benar menghargai keterlibatan dalam proyek-proyek kelas," kata Hofman.