KOMPAS.com - Beberapa minggu belakangan ramai cuitan pro-kontra program sertifikasi layak nikah yang direncanakan akan diimplementasikan Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) mulai tahun 2020.
Program ini sejatinya bertujuan memberi pembekalan kepada calon mempelai, dalam bentuk "sekolah" pranikah, untuk menambah ilmu yang dipandang kritikal sebelum memasuki jenjang pernikahan, seperti kesehatan reproduksi, alat kontrasepsi yang aman digunakan, pencegahan terhadap penyakit menular seksual (PMS), dan pencegahan stunting ketika membesarkan anak kelak.
Selain itu, sekolah pranikah ini memiliki obyektif untuk mengurangi angka perceraian di Indonesia yang meningkat.
Dalam implementasinya, Kemenko PMK Muhadjir Effendy bermaksud melibatkan pihak-pihak terkait seperti Kementerian Kesehatan, Kementerian Agama dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, dimana tiap bagian akan berperan di peranannya masing-masing.
Pro-kontra
Program yang direncanakan dengan tujuan membangun rumah tangga yang kuat guna membesarkan SDM yang berkualitas ini, sayangnya, tidak luput dari menjadi topik perdebatan rakyat.
Walau dengan dukungan, banyak tudingan sekolah pranikah malah akan menyulitkan prosesi pernikahan yang seharusnya dibuat mudah, juga dirasa terlalu dalam memasuki ranah privat masyarakat.
Menjawab tudingan pertama, Deputi Koordinasi Bidang Pendidikan dan Agama Kemenko PMK menegaskan bahwa sertifikat layak nikah tidak wajib, tetapi “akan lebih bagus (ikut), supaya keluarganya jadi lebih baik.” (19/11/2019)
Untuk yang kedua, terlihat jelasnya budaya Timur di Indonesia, dimana ilmu yang penting diketahui oleh semua orang pada usia dewasa masih dianggap memasuki ranah privat. Sikap seperti ini terus menghalangi kebanyakan masyarakat Indonesia dari mendapatkan ilmu tentang pengetahuan kesehatan reproduksi dan seksualitas yang layak.
Pendidikan seks di sekolah
Sebenarnya, jika sekolah-sekolah di Indonesia sudah mengimplementasikan pendidikan seks berkualitas sesuai pedoman pendidikan seks komprehensif UNESCO, akan lebih masuk akal jika masyarakat menolak sekolah pranikah yang direncanakan akan dilaksanakan selama 3 bulan, dengan landasan argumen sudah mendapatkan ilmu layak dan menerima satu-dua nasihat saja dari KUA sebelum menikah dinilai cukup.
Pada kenyataannya, pendidikan seks belum ternormalisasi di sekolah-sekolah di Indonesia.
Walau sudah memasuki kurikulum K-13 seperti ditegaskan Direktur Pendidikan Dasar dan Menengah Kemendikbud Hamid Muhammad di tahun 2016, sedikit sekolah mengeksekusi mengajarkan pendidikan seksual bagi murid.
Materi diajarkan juga terbatas pada melarang melakukan hubungan seks, tanpa memberi penjelasan mengenai aspek-aspek yang perlu diketahui untuk melakukan hubungan secara aman dan bertanggung jawab. Selain itu, isu krusial seperti consent dan peran gender pun masih jarang dibahas.
Mengingat budaya konservatif di Indonesia, dapat dipahami mengapa ajuan mengimplementasikan pendidikan seks terus mendapat respon negatif.
Kekhawatiran ini bisa jadi penyebab mengapa sekolah memilih tidak mengajarkan pendidikan seks di luar aspek biologis yang diajarkan di mata pelajaran IPA atau Biologi.
Tetapi sekali lagi perlu ditekankan bahwa penting bagi semua orang, terutama mereka yang sudah menginjak usia dewasa, untuk memiliki ilmu layak terkait kesehatan reproduksi dan seksualitas, dan sudah menjadi kewajiban bagi negara untuk memastikan ilmu ini betul diajarkan sejak usia yang dirasa sesuai.
Tidak hanya dicantumkan di kurikulum, tapi juga dipastikan pelaksanaannya dinas-dinas setempat. Materi ini dapat diperkenalkan secara garis besar ketika SMP, lalu diperdalam di jenjang SMA. Selebihnya, akan lebih baik lagi jika bisa ditekankan lebih lanjut di bangku kuliah, dimana mahasiswa mendekati usia siap nikah.
Kondisi Ideal
Idealnya, akan lebih baik jika masyarakat dapat menerima pendidikan seks komprehensif di sekolah, lalu tetap mengikuti kelas pranikah karena akan ada materi eksklusif yang lebih pantas diberikan kepada calon mempelai.
Dalam 100 hari pertama Mendikbud Nadiem Makarim yang digunakan untuk mendengar aspirasi murid dan pendidik di Indonesia, Nadiem perlu mengkaji lagi implementasi serta eksekusi pendidikan seks di Indonesia yang belum terlaksana secara maksimal.
Dalam proses pengkajian ini, Nadiem perlu menitikberatkan kewajiban pendidikan seks yang holistik dan disesuaikan dengan perkembangan zaman, juga melakukan pembekalan kepada guru agar dapat memberi ilmu inklusif dan cocok dengan keanekaragaman agama dan adat budaya siswa-siswi di Indonesia.
Sambil berjalan, Kemenko PMK perlu tetap mengadvokasi kepentingan sekolah pranikah, terutama bagi mereka yang menikah di usia di bawah yang dipersyaratkan UU Perkawinan (19 tahun untuk laki-laki dan perempuan) dan yang berasal dari daerah di mana sekolah masih jarang memberikan pendidikan seks dan kesehatan reproduksi kepada murid.
Selain itu, perbincangan mengenai pendidikan seks tentu perlu mengundang peran aktif orangtua yang memiliki peran terbesar dalam pendidikan anak.
Jika orangtua, guru, dan masyarakat secara menyeluruh bisa menyatukan sikap dan suara mengenai pendidikan seks dan cara tepat mengkomunikasikannya, normalisasi pembahasan pendidikan seks dan kesehatan reproduksi akan mudah diterima semua dengan berjalannya waktu.
Penulis: Zhafira Aqyla S. S.
Human Sciences International Undergraduate Degree Program, Osaka University
https://edukasi.kompas.com/read/2019/11/29/21182571/mendudukkan-soal-sekolah-pranikah-dan-pendidikan-seks-di-sekolah