Berapa biaya setiap waria yang nyantri di ponpes itu? Menurut Maryani, mereka tak dipungut bayaran, alias gratis. Mereka biasanya datang hanya membawa pakain dan peralatan untuk mandi dan berhias, sedangkan sarung dan mukena sudah tersedia di ponpes.
"Saya sediakan sarung dan mukena, biar mereka memilih sendiri mau pakai yang mana, yang mereka anggap nyaman. Saya sendiri biasa memakai mukena karena saya sudah merasa menjadi perempuan," tegas waria yang memiliki anak perempuan hasil adposi berusia delapan tahun bernama Rizki Ariyani tersebut.
Ditanya mengenai biaya yang dia keluarkan untuk mengelola ponpes waria tersebut, Maryani menolak menyebutkan. Alasannya, dia merasa ikhlas sehingga tak perlu merinci dana yang sudah dikeluarkan maupun memperkirakan dana yang akan dikeluarkan.
"Hampir semua menggunakan uang pribadi saya. Kalau ada orang yang membantu, saya terima. Tapi saya tidak pernah meminta-minta bantuan ke donatur-donatur, karena tidak mau dituduh mendirikan pesantren hanya untuk kedok mencari uang," tandas Maryani.
Dia bersyukur, masih ada orang-orang yang peduli kepada kaum waria. Misalnya, para ustadz yang bersedia mengajar para santri waria dengan tanpa dipungut bayaran, bahkan kadang-kadang malah memberi bantuan. "Pada saat bulan puasa yang lalu, misalnya, ada ustadz yang membantu makanan atau makanan kecil," kenangnya.
Maryani juga bersyukur karena keberadaan ponpesnya diterima oleh masyarakat setempat, termasuk pihak takmir masjid. "Pak Dulmajid, takmir masjid di kampung ini, juga mendukung ponpes kami," kata Maryani.
Keluar Malam
Sebagai seorang waria senior, Maryani memiliki pengalaman hidup dan pekerjaan yang panjang. Termasuk, keluar malam alias mencari pelanggan para laki-laki hidung belang, mulai dari Yogyakarta, Semarang, Surabaya (kawasan Jalan Ketabang), Solo (kawasan Lapangan Manahan), hingga ke Jakarta (Taman Lawang). Dia juga pernah menjadi pengamen.
Pengalamannya itu menunjukkan bahwa waria perlu mencari makan sekaligus harus bekerja. Karena itulah dia bisa menoleransi bila waria yang menjadi santri di ponpesnya ternyata belum dapat meninggalkan kebiasaan buruk seperti keluar malam.
"Biar saja jika mereka sudah beribadat, dan ikut menjadi santri di sini, tapi masih juga keluar malam. Kalau saatnya tiba, dan karena dibimbing Allah, mereka pasti akan memutuskan tak keluar malam lagi," tegasnya.
Maryani juga tak peduli bila ada orang yang menganggap bahwa dirinya --maupun para waria di ponpes-- sebenarnya belum bertobat total karena masih memilih berjenis kelamin waria, bukan memilih menjadi laki-laki. Menurutnya, pilihan ini bukan urusan orang lain melainkan urusannya dengan Allah Sang Pencipta.
"Waria itu juga manusia. Waria juga perlu beribadat. Waria yang sudah tua seperti saya, sulit untuk kembali menjadi laki-laki. Tapi waria-waria yang masih kecil, yang masih muda-muda, bisa saja bertobat total dengan menjadi laki-laki lagi. Kalau memang ada santri di sini mau kembali menjadi laki-laki karena pintu tobatnya dibuka oleh Tuhan, monggo saja," paparnya.
Tetapi, tambah Maryani, jika memang ada santri waria yang kembali menjadi laki-laki, dia mengingatkan agar santri tersebut tidak lagi bersikap dan bertindak sebagai waria. "Saya minta dia tidak lagi berdandan seperti perempuan, dan tidak keluar malam," tandas Maryani.
Selain aktif mengelola ponpes dan salon miliknya, Maryani kadang-kadang juga diundang ke berbagai acara yang berkaitan dengan masalah waria. Jumat (14/11) siang kemarin, misalnya, setelah diwawancara Surya, dia diundang Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Jogjakarta, membahas tentang peran banci yang marak di tayangan televisi swasta. Secara pribadi dia menilai, peran banci itu sebenarnya juga melecahkan kaum waria.
Lalu, apa yang masih menjadi obsesi Maryani? "Saya ingin agar di kota-kota lain juga muncul pondok pesantren khusus waria seperti di tempat saya ini. Kalau perlu di seluruh kota di Indonesia. Supaya orang-orang tahu bahwa kaum waria juga beribadat. Waria juga manusia, juga perlu ibadat," tegasnya. (Junianto Setyadi)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.