ESTER LINCE NAPITUPULU
Ancaman dicopot dari jabatan sebagai kepala sekolah tak menyurutkan keyakinan Sukarlik membuka SD negeri yang dipimpinnya terbuka bagi anak-anak berkebutuhan khusus. Ia yakin, membaurkan anak berkebutuhan khusus dengan anak normal di sekolah reguler justru membuat mereka belajar saling memahami dan mendukung.
Di sekolah yang dipimpin Sukarlik, anak
Apa yang dilakukan Sukarlik sejak menjabat Kepala SDN Klampis Ngasem I-246 Surabaya tahun 1989 itu awalnya tak disambut baik warga sekolah. Tantangan paling keras justru datang dari dinas pendidikan setempat yang tak menerima ABK berbaur dengan anak sekolah reguler. Katanya, ABK secara formal harus belajar di sekolah luar biasa (SLB).
Demi menjalankan niat baik, dia bersama guru-guru lain pun menyusun siasat. Jika ada pengawasan ke sekolah, ABK yang secara fisik mudah dikenali terpaksa disembunyikan di kamar kecil atau sawah.
”Untungnya cara itu berhasil. Anak-anak
Jalan menuju perubahan terbuka pada 2000. Ketika ada Pekan Olahraga dan Seni (Porseni) SLB, pejabat dari dinas pendidikan pusat melihat ada siswa yang dikategorikan ABK tetapi memakai
”Mereka jadi tahu jika anak-anak berkebutuhan khusus yang dilihat itu sekolah di sini. Saya ditanya ini kelas apa? Saya jawab kelas integrasi. Anak berkebutuhan khusus itu bisa lebih cepat bersosialisasi jika belajar bareng anak biasa. Saya balik tanya, kenapa mereka dari kecil dimasukkan SLB? Nantinya mereka juga akan punya pasangan dan tak selamanya di lingkungan luar biasa. Tuhan memberi kekurangan kepada anak-anak itu untuk melengkapi anak-anak lain,” katanya.
Sekitar tiga tahun kemudian, dia diundang ke Jakarta. Sukarlik berkesempatan menjelaskan apa yang dilakukan sekolah bagi ABK. Dia juga sempat menuangkan keresahan hatinya soal keberatan dinas pendidikan setempat yang menyebutkan tindakannya melanggar aturan.