Direktur Jenderal Pendidikan Nonformal dan Informal Departemen Pendidikan Nasional Hamid Muhammad, Senin (27/4), mengatakan, jumlah perempuan buta aksara sekitar 6,3 juta orang, sekitar 70 persen di antaranya berusia di atas 45 tahun. Adapun jumlah laki-laki buta aksara sebanyak 3,4 juta orang. Total jumlah warga buta aksara 9,7 juta atau 5,97 persen dari jumlah penduduk Indonesia. Jumlah itu lebih rendah ketimbang pada tahun 2004 sebesar 10,7 persen.
Daerah yang tinggi disparitas perempuan dan laki-laki untuk kasus buta aksara adalah wilayah Indonesia timur, seperti Nusa Tenggara Timur, Papua, Papua Barat, dan sebagian Nusa Tenggara Barat. ”Jika dalam sebuah keluarga ada dua atau tiga anak sedang bersekolah, kemudian orangtua tidak mampu membiayai, yang putus sekolah biasanya anak perempuan. Masih ada anggapan, perempuan tidak perlu bersekolah tinggi-tinggi,” ujar Hamid.
Hamid menambahkan, tingkat buta aksara dipengaruhi pula oleh akses pelayanan pendidikan dasar dan angka putus sekolah, terutama di kelas I, II, dan III jenjang sekolah dasar.
Guna mengatasi persoalan buta aksara tersebut, pemerintah menerapkan kebijakan afirmatif pendidikan pemberdayaan perempuan. ”Ada pendidikan kelompok belajar keaksaraan mandiri yang pada hakikatnya pendidikan kecakapan hidup sebagai kelanjutan dari program keaksaraan yang sudah ada,” katanya.
Untuk menarik minat warga kelompok umur di atas 40 tahun kembali belajar membaca, menulis, dan menghitung, diperkenalkan pula program kewirausahaan.
”Dari kegiatan kewirausahaan itu, muncul kebutuhan membaca dan menulis. Setelah itu, sedikit- sedikit diberikan materi keaksaraan,” ujarnya.
Pada 2009 telah ditetapkan sasaran program tersebut kepada sekitar 200.000 orang. Setiap kelompok yang terdiri atas 10-15 orang diberi bantuan modal Rp 30 juta hingga Rp 50 juta per kelompok.