Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ketika Bahasa Daerah Terdengar Asing di Telinga

Kompas.com - 27/10/2009, 03:05 WIB

Ia mengaku, sudah berupaya untuk tetap mengenalkan kepada anak didiknya, tentang bahasa daerah. Selain digunakan untuk kegiatan sehari-hari, ia juga menekankan bahasa daerah itu tidak sulit.

Ia juga berharap, porsi bahasa daerah bukan hanya menjadi muatan lokal saja, melainkan bisa lebih. Sayangnya, hal itu belum tercapai. Bahkan, saat ini kurikulum untuk bahasa daerah di Jawa Timur belum diterapkan, sehingga pihaknya harus membuat kurikulum sendiri.

Sementara itu, Kepala Bidang Pendidikan Menengah Umum (Kabid Dikmenum) Dinas Pendikan Kota Kediri, Heri Siswanto mengaku, saat ini memang untuk bahasa daerah hanya menjadi muatan lokal saja dalam pendidikan. Namun, pihaknya akan berupa semaksimal mungkin, untuk tetap melestarikan bahasa daerah, di antaranya dengan memperbaiki kurikulum yang ada.

Ia tidak ingin, bahasa daerah, akan kehilangan identitasnya, sehingga menjadi asing di telinga anak-anak. "Kami akan memperbaiki kurikulum yang ada, terutama untuk bahasa daerah. Kami tidak ingin, bahasa yang merupakan identitas budaya ini terdengar asing di telinga anak-anak," tuturnya.

Bagi beberapa orang, bahasa daerah juga dinilai kurang memasyarakat. Tidak semua orang bisa memahami bahasa yang merupakan asli dari daerah ini. Bahkan, penggunaaan bahasa daerah dengan halus, banyak dilakukan dalam kegiatan upacara atau resmi (formal), seperti pengantin.

"Tidak semua orang mengetahui atau memahami bahasa daerah (Jawa). Bahkan, bahasa satu dengan lainnya juga tidak sama, walaupun artinya sama," kata praktisi pendidikan bahasa, Sutjahjo Gani.

Ia mencontohkan, Bahasa Jawa "ora" di Solo akan lebih dipahami ketimbang kata "gak", walaupun artinya sama yaitu tidak. Dan kata "tibo" akan lebih dipahami oleh orang Solo ketimbang "ceblok", walaupun artinya sama, jatuh.

Bahkan, kata dia, penggunaan bahasa daerah secara halus, terutama di Kediri hanya digunakan dalam kegiatan tertentu, seperti upacara pengantin, maupun berbagai ritual lainnya (budaya). Sementara, untuk sehari-hari lebih digunakan bahasa daerah sehari-hari, seperti "ngoko" maupun "ngoko alus".

"Bahkan, banyak saat ini dalam keluarga juga tidak dikenalkan untuk ’boso’ atau menggunakan bahasa daerah. Lebih banyak yang menggunakan bahasa ’ngoko’ atau bahasa sehari-hari, sehingga tidak ada bedanya berkomunikasi kepada orang yang seumur, maupun kepada yang lebih tua," paparnya.

Ia menilai, saat ini penggunaan bahasa daerah kurang diminati. Hal itu dimungkinkan, sudah mulai ada penjajahan dari kapitalis, dengan masuknya bahasa asing, sehingga masyarakat lebih suka menggunakan bahasa asing, ketimbang mengakui identitas budaya sendiri.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com