Joris mengakui, hanya tekad kuatlah yang membuatnya tetap sabar, mendatangi satu per satu warga Hoaulu untuk menjelaskan pentingnya pendidikan. Biar anak-anak mau bersekolah, ia memberi mereka kue atau permen.
”Selama dua bulan, saya melakukan hal itu. Perlahan, mereka mulai mau belajar. Sekarang, justru murid yang datang ke sekolah jauh lebih cepat daripada gurunya, ha-ha-ha,” katanya.
Belakangan, tak hanya anak- anak yang mau belajar. Para remaja berusia 14-16 tahun pun hadir di sekolah. Joris tak mempermasalahkan perbedaan usia tersebut.
”Lebih penting membuat mereka bisa membaca dan menulis biar bisa mengejar ketertinggalan dengan dunia luar,” katanya.
Joris mengajari mereka dengan modal 10 buku pelajaran pemberian murid dan guru dari SD di Rumah Sokat, Seram Utara, tempat dia mengajar sebelumnya.
Tak hanya mendekati warga dan anak-anak Hoaulu, Joris pun berupaya menyampaikan kondisi di Hoaulu kepada Dinas Pendidikan dan DPRD Kabupaten Maluku Tengah.
Berulang kali dia mendatangi pejabat Dinas Pendidikan dan DPRD Kabupaten Maluku Tengah agar mau memerhatikan warga Hoaulu. Padahal, untuk itu, Joris harus ke Masohi, ibu kota Kabupaten Maluku Tengah yang jaraknya sekitar 140 kilometer dari Hoaulu. Perjalanan itu ditempuhnya dengan menumpang angkutan umum atau sepeda motor sekitar lima jam.
Namun, setelah sekolah selesai dibangun, perhatian pemerintah malah menghilang. Alat tulis, buku pelajaran, dan keperluan lain penunjang kegiatan belajar-mengajar tidak pernah diberikan.