Munali, dukun (pemimpin adat) masyarakat Tengger di Tosari juga merasa sebagai suku tersendiri yang berbeda dengan Jawa atau Madura. Tapi, kalau merunut kategorisasi Ron Harley yang membagi struktur sosial-budaya masyarakat Jawa Timur dalam subkultur Arek, Mataraman, dan Pendalungan, masyarakat Tengger adalah subkultur. ”Pandangan awam menyebut mereka suku, tidak salah. Tetapi, secara akademis, mereka itu adalah subkultur varian Jawa,” ujar sosiolog Universitas Negeri Jember, Lathif Wiyata.
Bahasa masyarakat Tengger berinduk pada bahasa Jawa Kuna dengan dialek yang berbeda dengan Jawa Mataraman. Mereka juga memiliki sistem kepercayaan yang mirip dengan varian masyarakat Jawa abangan dalam kategorisasi Clifford Geertz (Religion of Java). Misalnya, kepercayaan terhadap danyang atau sing mbaureksa (roh penguasa tempat atau bidang tertentu). Menjalankan ritual siklus slametan. Menggunakan petungan (sistem numerasi) seperti masyarakat Jawa yang tertera dalam kitab Betal Jemur Adam Makna. Lafal mantra mereka mirip dengan mantra masyarakat Jawa.
Semua masyarakat Tengger meyakini, mereka adalah keturunan Rara Anteng dan Jaka Seger. Tetapi, siapa mereka, di kalangan mereka sendiri terdapat beberapa versi. Ada yang bilang Rara Anteng adalah putri Kerajaan Majapahit yang menikah dengan anak brahmana bernama Jaka Seger. Ada yang berpendapat keduanya adalah bangsawan Majapahit yang melarikan diri ke Tengger menghindari kejaran tentara Islam. Prof Nancy (1985) ataupun Simanhadi, guru besar Universitas Negeri Jember, mengaitkan keberadaan mereka dengan Majapahit.
”Rara Anteng itu aslinya Dewi Sekar Wulan yang menikah dengan pangeran Majapahit bernama Jaka Seger,” ujar Trisno Sudigdo, keturunan Tengger yang bergelar master, gelar yang sangat langka di kalangan mereka.
Antropolog Universitas Negeri Malang, Dwi Cahyono, berani menyatakan bahwa berdasarkan bukti arkeologis, masyarakat Tengger sudah ada jauh sebelum Majapahit. Sebut saja Prasasti Muncang dengan angka tahun 944 Masehi atau zaman Raja Empu Sindok. Prasasti ini menyebutkan ditetapkannya sebidang tanah di selatan pasar Desa Muncang sebagai tanah perdikan. Hasil bumi tanah perdikan digunakan untuk membangun Prasada Kabhaktyan Siddhayoga, yaitu bangunan suci untuk peribadatan harian bagi Bhathara Sang Hyang Swayambhwa yang bersemayam di Walandit.
Sebelumnya, tahun 929, juga dibuat prasasti Lingga Sutan. Isinya menetapkan Desa Lingga Sutan sebagai wilayah Rakriyan Hujung dan hasil pertanian di sana dipersembahkan untuk Bhathara I-Walandit. Pemujaannya dilakukan setahun sekali
Adapun Prasasti Pananjakan, tahun 1405, menyebutkan larangan untuk menarik pajak pada bulan titi leman atau akhir bulan pada bulan Asada. Larangan itu berlaku untuk lima desa, yaitu Desa Walandit, Mamanggis, Lili, Jebing, dan Kacaba. Pajak terlarang ditarik pada saat itu karena warga desa tengah memuja gunung keramat nan mulia, Gunung Brama.
Gunung Brama ini diduga kini berkembang namanya menjadi Gunung Bromo. Dan
”Dari prasasti-prasasti di atas, jelas terlihat ada keterkaitannya, yaitu adanya upacara pemujaan pada Bhathara I-Walandit atau Bhathara Sang Hyang Swayambhwa. Dan pada Prasasti Penanjakan akhirnya semakin jelas bahwa dewa-dewa yang dipuja adalah dewa gunung api Brama. Artinya, terlihat bahwa sejarah Tengger-Bromo muncul jauh
Sementara masyarakat Tengger meyakini bahwa upacara Kasada—yang diselenggarakan masyarakat Tengger dengan mempersembahkan sesaji
Bercampur aduknya sejarah dan legenda dalam kesejarahan masyarakat Tengger melengkapi sisi pelbagai ”misteri” TNBTS. Misalnya, misteri manusia kerdil berkulit hitam di Hutan Ireng-ireng di lereng Gunung Semeru. Misteri bahwa puncak Semeru yang disebut Mahameru adalah tempat bersemayam para dewa. Mungkin sisi ”misteri” ini justru bisa menambah daya tarik TNBTS.