Menurut Neng Dara, mereka menjadi obyek kekerasan seksual, pengucilan, kehilangan akses ekonomi dan status kependudukan, serta mengalami gangguan kesehatan. Reproduksi kebencian terjadi di antara sesama anak yang juga didiskriminasi dalam pendidikan dan berpotensi menyimpan trauma akibat pelabelan.
Ketua Komnas Perempuan Yunianti Chuzaifah mengatakan, tiga tahun terakhir tercatat 342 kali serangan terhadap komunitas Ahmadiyah. Laporan Institut Setara memperlihatkan, pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan selama tiga tahun terakhir sampai tahun 2009 paling banyak menimpa komunitas Ahmadiyah.
”Tahun 2010 pelanggaran terbanyak menimpa jemaat Kristiani,” ujar peneliti senior Institut Setara, Ismail Hasani.
Kekerasan massa di tingkat komunal, menurut Neng Dara, menunjukkan kegagalan pemerintah melakukan pencerahan dan pencerdasan terhadap warga negara. Dengan membiarkan kebodohan, sentimen terhadap identitas agama (dan etnis) selalu berpotensi dimanfaatkan kepentingan politik pihak tertentu. Di sisi lain, hak keberwargaan kelompok yang terpinggirkan akan terus disandera.
”Tak seorang pun berhak mendefinisikan keimanan seseorang kecuali orang bersangkutan,” tegas Neng Dara yang sulit menerima penyangkalan pelanggaran HAM atas kasus penyerangan itu.
Tantangan serius gerakan perempuan saat ini, menurut Koordinator Koalisi Perempuan Indonesia untuk Keadilan dan Demokrasi (KPI) Wilayah Yogyakarta Farsijana A Risakotta adalah menguatkan kerukunan warga untuk menolak kekerasan yang mungkin dipicu pihak luar kelompok.
”Peristiwa di Banten dan Temanggung adalah pelajaran berharga. Kita juga melihat bagaimana masyarakat Temanggung membela hak mereka atas kerukunan,” ujar Farsijana.
Doktor antropologi lulusan Radbout Nijmegen Universiteit, Belanda, yang penelitian disertasinya di Maluku itu mengingatkan tentang pola sistematis untuk membangun ketakutan dan prasangka yang berujung pada kerusuhan terhadap masyarakat yang semula hidup rukun dan damai, seperti di Maluku Utara dan Poso.
”Kekerasan menghancurkan semuanya, bukan hanya fisik, tetapi juga ingatan kolektif,” ujar Farsijana yang bersama KPI wilayah Yogyakarta baru selesai menggelar pameran seni limbah dan ekspresi perempuan menolak kekerasan.
”Yang terpenting menguatkan kerukunan dan tidak terjebak pada pusaran pro dan kontra. Banyak hal abu-abu dalam politik kekuasaan. Kita, perempuan, dipanggil untuk menyelamatkan kehidupan.”