Semua itu dia kerjakan sendiri dan setiap tahun Encep bisa menyemai 20.000 tanaman hutan. Di lahan milik Tahura itu awal Juli ini ia memiliki 40.000 benih dari 40-an jenis tanaman hutan yang siap ditanam.
”Kemampuan saya terbatas karena tak dibantu orang lain. Ini pun berkat izin Tahura. Kalau, misalnya, tidak diizinkan menyemai di sini, saya belum tahu,” ujarnya. Jenis tanaman pun terus dikembangkan, misalnya persemaian bibit trembesi untuk penghijauan.
Mengapa tak menyemaikan bibit tanaman yang berjangka pendek, seperti sengon? Alasannya, pekerjaannya tidak untuk usaha yang cepat mendatangkan uang, tetapi demi memuliakan tanaman hutan. Hasil persemaian itu dia sebarkan lewat siapa saja yang membutuhkan penghijauan.
Tentu saja ia mendapatkan penggantian untuk membeli bahan persemaian itu. Namun, bukan jual putus. Artinya, saat datang peminat, ia akan bertanya jenis tanah yang akan ditanami bibit itu. Dia juga menyarankan agar benih yang akan ditanam tersebut harus berketinggian di atas 0,5 meter.
Ketika pembeli datang dan tanaman belum tinggi, ia tak akan memberikan tanaman itu. ”Tunggu sampai tinggi dulu. Saya tak mau begitu ditanam malah mati,” katanya.
Alasan itu dikemukakannya karena memuliakan tanaman semata-mata melestarikan pohon hutan dan menyebarkan penghijauan. Ia memang mendapat penghasilan dari jerih payahnya itu, tetapi itu bukan tujuan utama. Pembeli dia bimbing hingga tanaman tumbuh.
Dari pengalaman menyemai, ia mendapat pelajaran berharga, yakni mengurus anak pohon harus seperti mengurus bayi manusia. Misalnya, ia mengurangi bahan kotoran ayam pada
Maka, dengan media kompos yang diambil dari lingkungan di mana pohon itu tumbuh, anak pohon mudah beradaptasi. Lagi pula daya serap akar tanaman hutan terhadap humus buatan itu tak secepat rumput liar. Media tanam yang dia buat selama ini cocok untuk akar tanaman berdaya serap lambat. Pengetahuan ini dia peroleh hanya berdasarkan pengalamannya selama ini.
Sejak lahir, Encep tumbuh ”liar” di sekitar hutan Bandung Utara di hulu Sungai Cikapundung yang membelah Kota Bandung. Pada usia SD, Encep kecil membantu usaha orangtua berjualan bumbu di Pasar Baru Bandung. Ketika berusia delapan tahun, usaha orangtuanya pailit, mereka bercerai, dan Encep menjadi anak telantar.