Wajah penelitian di Indonesia juga dapat dilihat dari ”tugas dan kewajiban” peneliti. Mereka, dalam praktiknya, sekaligus administrator.
”Yang mengurusi lebih banyak dari yang diurusi. Sementara, kami harus mengurus semua sendiri. Kalau disuruh buat laporan, kami kadang kesulitan karena kuitansi kadang tidak ada, misalnya untuk fotokopi. Jadi, peneliti itu modalnya kuitansi, meterai, dan stempel. Ibaratnya, kami buka laci, maka stempel keluar semua. Soalnya, kalau tidak ada capnya, tidak dipercaya,” kata Muhammad.
Dana untuk RUT sekitar
”Manajemen riset disamakan manajemen proyek. Padahal, banyak faktor yang variabelnya nonlinier, tidak bisa diprediksi,” ujar para peneliti muda. Akhirnya, lanjut Muhammad, laporan dibuat dengan melihat buku saja. ”Kalau kurvanya seperti ini, ya begini saja,” kata dia. Argumentasi itu bisa ”cerita kancil” atau ”basa basi”.
Di Delft ada sekitar 100 peneliti dengan administrator hanya lima orang. Didik Fauzi Dakhlan dari puslitbang PT PLN (Persero) Java Bali Transmission and Load Dispatch Center, Jakarta, mengatakan, perbandingan teknisi, orang mesin, dan administrasi di kantornya 80 : 80 : 80. Ironisnya, indeks performa kinerja peneliti lebih rendah daripada petugas administrasi.
Di Indonesia, tangan peneliti ikut kotor karena juga berperan sebagai bendahara, jadi sekretaris juga. ”Di sini (Delft) ada sekretaris dan yang memikirkan manajemen penelitian,” kata mereka. ”Kalau punya niat jelek, di Indonesia mudah untuk korupsi. Terserah mengelolanya seperti apa, yang penting beres,” ujar Muhammad.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.