Namun, saya punya jalan keluar, jalan cemerlang! Begini! Katakanlah setiap tahun ada 300 calon lulusan S-3, ditambah 1.000 dosen yang mengurus rangka kenaikan pangkat/sertifikasi. Jadi, setiap tahun 1.300 makalah, 19.500 helai, perlu dipublikasi di LN. Nah, biar Dikti membuka perwakilan di Timor Leste. Di sana, Dikti mendirikan 10 jurnal ilmiah saja (terbit 12 kali setahun, pembiayaan ditagih dari para penulis). Masalah pun terpecahkan.
Solusi Timor Leste itu mempunyai tiga keuntungan: para calon doktor/dosen kita terjamin publikasinya di LN, Dikti bisa menaikkan pendapatan sekian karyawannya (mereka yang terlibat dalam produksi 10 jurnal itu), dan Indonesia memberi sumbangan kepada perekonomian Timor Leste. Cukup genial, bukan?
Pertanyaan kedua
Jadi, surat edaran Pak Dirjen bisa saja dilaksanakan. Hanya, ada dua masalah. Pertama, siapa yang mau membaca ribuan makalah setiap bulan itu yang ditulis oleh mahasiswa yang belum lulus dan yang banyak akan lulus dengan nilai B atau C? Apa Dikti bisa mengecek 1.450.000 halaman makalah-makalah itu?
Namun, dan itu masalah kedua, kalau mahasiswa tahu bahwa makalahnya tidak mungkin dibaca dengan sungguh-sungguh, mereka tidak punya motivasi apa pun untuk menulis sesuatu yang bermutu. Jadi, mereka akan menulis ”sampah”. Dengan lain kata, surat edaran Dirjen Dikti ini adalah sarana mujarab untuk mengajak para calon akademisi kita untuk memproduksi sampah!
Jadi, kebijakan Dikti justru bisa bikin celaka. Alih-alih mendorong mutu output ilmiah perguruan tinggi kita, Dikti malah mengharuskan kebijakan yang hasilnya adalah menciptakan budaya asal-asalan, yang lebih buruk daripada yang ada sekarang: budaya asal tulis 10 halaman, budaya asal tulisan itu bisa ditampung di jurnal.
Menurut saya, maaf, dalam hal ini Dikti salah besar, yakni mau meningkatkan mutu dengan paksaan dan ancaman. Bahkan, dengan cara yang—kalau mau dilaksanakan menurut maksud Pak Dirjen—mustahil terlaksana. Hal yang justru terlupakan: hanya ada satu dasar bagaimana mutu intelektual bisa mencuat, yakni motivasi di batin para dosen dan mahasiswa. Ironisnya, motivasi itu justru akan dibunuh dengan surat edaran baru itu.
Masihkah ada harapan?
Sebenarnya masalah yang mendasari defisit naluri peneliti-ilmiah di kalangan mahasiswa (dan dosen) kita sudah sering diangkat, tetapi barangkali belum di Dikti: pola pendidikan kita, mulai dari SD, harus diubah. Dari pendekatan yang memperlakukan anak-anak sebagai obyek pasif yang kelakuannya dimanipulasi dan otaknya diisi oleh guru/sekolah/Kemdikbud ke pendekatan yang memandang anak (anak kecil!) sebagai subyek yang dihormati identitasnya. Oleh karena itu, perlu dirangsang semangatnya untuk ingin tahu, untuk mencari yang baru, berani bertanya, bertanya ”mengapa”, dan untuk berani mengemukakan pendapat sendiri.
Jadi, kreativitasnya dirangsang. Mereka yang melawan tren dipuji, perbedaan pendapat dihormati, bahkan dihargai oleh guru. Anak juga dirangsang belajar berdebat. Jadi, dari anak yang diharapkan manutan alias penurut menjadi anak yang percaya diri, terbuka, berani, dan kreatif.