Itu tentu tidak mungkin dilaksanakan dalam satu tahun. Namun, Kemdikbud bisa berbuat sesuatu, misalnya semakin memerhatikan pendidikan karakter. Guru-guru memberi dorongan supaya berani membebaskan diri dari pola pendekatan ”menggurui”.
Kunci perkembangan intelektual mahasiswa adalah para dosen. Merekalah yang menentukan suasana belajar. Maka, Dikti diharapkan memberi dukungan agar dosen dapat berkembang secara terbuka, intelektual, dan kreatif. Untuk itu, perlu segala ”kebijakan” yang berupa harassment, pelecehan, dihentikan (Misalnya, pengecekan terhadap data untuk kenaikan pangkat/sertifikasi yang sudah kegila-gilaan sehingga portal Kopertis/Dikti kelebihan beban [overloaded]. Sampai-sampai karyawati kami dianjurkan mengunduh [men-download] gunung data itu pagi-pagi menjelang subuh). Segala kebijakan positif seperti sertifikasi (tetapi, ya, tanpa harassment tadi) perlu diteruskan.
Pertanyaan saya, seorang pensiunan tua, kepada rekan-rekan di perguruan tinggi: berapa lama kita—perguruan tinggi di Indonesia—membiarkan diri dipermainkan oleh birokrat-birokrat yang wawasannya kadang-kadang berkesan beyond hope, melampaui harapan?
Akan tetapi, tentu harapan masih ada, bahkan di Kemdikbud dan Ditjen Dikti.
Franz Magnis-Suseno SJ Guru Besar Pensiunan Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta
Baca juga:
TOPIK: Mau Lulus? Wajib Publikasi Makalah