Aku mendaftarkan anakku yang terkecil di childcare centre di kampus. Daftar tunggunya panjang, dan aku datang tiap bulan untuk sekedar ngobrol dengan direkturnya, memastikan bahwa aku serius mendapatkan tempat di childcare tersebut.
Aku juga meminjam buku anak-anak di public library, membacanya seusai membaca jurnal atau text book. Aku berharap bisa membacakannya keras-keras sebelum tidur sebagaimana kebiasaanku sejak mereka lahir.
Setelah 7,5 bulan yang panjang, datang juga hari itu. Anak-anak datang bersama ibuku. Usia mereka 5 tahun dan 4 tahun waktu itu. That was among one of the best day in my life!
Si sulung tetap langsing dan makin tinggi, sementara si bungsu masih gemuk dan chubby. Aku memeluk mereka berdua begitu bertemu di airport. Lama sekali pelukan itu. Mereka terlihat malu-malu dan menahan diri, membuatku sedikit sedih.
Setelah sehari, mereka seringkali menangis karena kangen Oom-Tantenya di Indonesia. Selama ini mereka tinggal bersama adikku dan pengasuh-pengasuhnya sekitar 7,5 bulan lamanya. Mereka mencari pengasuhnya setiap akan mandi, makan, bermain, sampai tidur. Ini membuatku sadar, betapa kami sangat tergantung kepada pengasuh-pengasuh mereka.
Aku baru ingat, betapa tertekannya aku jika ada seorang pengasuh pulang kampung. Ibuku juga tidak terbiasa mengasuh anak kecil dan memasak, sehingga aku pontang-panting memasak, membersihkan rumah, mengurusi anak-anak, dan lain-lainnya. Untunglah, masih ada 2 minggu sebelum masuk semester baru, yang bersamaan dengan awal tahun ajaran di sekolah anak-anak.
Aku berusaha membiasakan anak-anak untuk (paling tidak) makan tanpa disuapi. Ya, anakku masih disuapi, tidak seperti halnya anak-anak di childcare yang kulihat sejak usia setahun sudah bisa makan sendiri.
Memang, adaptasi masuk sekolah dan childcare mungkin merupakan saat-saat berat buat anak-anak. Si sulung yang masuk TK menjadi pendiam. Dia hanya menikmati pelajaran Matematika, menggambar, dan olahraga, yaitu tiga mata pelajaran yang tidak membutuhkan keterampilan berbahasa. Sementara itu, si kecil sangat berkomitmen membuat ibunya merasa bersalah dengan menjerit sekencang-kencangnya setiap kali akan ditinggal di childcare. Aku bahkan bisa mendengar tangisannya dari Crawford School, kampusku yang terletak di seberang jalan dari University Preschool and Childcare.
Bagaimanapun, itu semua merupakan proses harus kulalui. Beberapa carer menguatkan aku untuk tidak menengok ke belakang ketika mengantar si bungsu. Dan betul juga, setelah sebulan, justru susah sekali mengajak anakku pulang. Si sulung pun sudah mulai mempunyai teman dan selalu berceloteh dengan ceria sepulang sekolah.
Satu hal yang berubah secara signifikan setelah anak-anak sekolah adalah besarnya perhatian mereka kepada ibunya. Mereka akan menawarkan bantuan setiap kali melihatku membawa belanjaan, mengambil jemuran, menyapu atau apapun itu yang aku kerjakan. Senang sekali rasanya. Aku memastikan selalu mengucapkan terima kasih dan memuji ketika mereka melakukan sesuatu yang baik.