Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Reformasi Pendidikan

Kompas.com - 20/09/2012, 02:05 WIB

Kurikulum berbasis kompetensi (KBK) sebagai ganti kurikulum berpusat materi tidak membawa perubahan. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No 22/2006 tentang standar isi menyebut kurikulum tetap berbasis pada materi. Permendiknas No 23/2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan berisi kurikulum berbasis kompetensi. Dua permendiknas ini menyulitkan guru. Mau berpegang pada isi atau kompetensi?

Ujian nasional

Evaluasi hasil belajar yang dalam UU Sisdiknas Pasal 58 menjadi hak guru untuk menyelenggarakan diubah pada PP No 19/2005 menjadi Ujian Nasional (UN) yang diselenggarakan oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). Terakhir pengambilan nilai menjadi 60 persen UN dan 40 persen ujian kelas. Alasan penyelenggaraan UN adalah ”dari dulu” UN diselenggarakan. Padahal, yang dari dulu justru harus direformasi.

Kualifikasi guru menuntut pada hasil. Uji kompetensi guru menunjukkan bahwa hasil uji kompetensi awal rata-ratanya 42,5, sedangkan hasil uji kompetensi guru yang telah bersertifikat rata-rata 44,5. Artinya, sertifikasi berdasarkan portofolio tak menunjukkan perbedaan signifikan dengan guru yang belum disertifikasi. Maka, penyelenggaraan pendidikan nasional oleh guru bersertifikasi tidak ada bedanya dengan guru yang belum diberi sertifikat.

Penjelasan tentang prinsip perubahan tak tergambar dalam sejumlah dokumen resmi pendidikan nasional. Pesan-pesan dari kementerian lebih terkesan tidak memihak reformasi. Semangat penyelenggara pendidikan nasional masih terikat pada prinsip- prinsip yang harus ditinggalkan.

Contohnya RAPBN 2013. Pada bagian penjelasan Meningkatkan Pendidikan dan Kesejahteraan Rakyat, subjudul pendidikan murah yang terjangkau dibuka dengan kalimat: ”Sumber daya manusia Indonesia yang andal dan terdidik”. Kata sumber daya manusia dalam prinsip kedua dari reformasi pendidikan telah diganti menjadi manusia sebagai subyek pembangunan yang utuh.

Masih sangat kuat pendapat bahwa pendidikan bertujuan menciptakan manusia siap kerja. Padahal, reformasi mendasarkan pandangan bahwa pendidikan bukan hanya menciptakan manusia yang siap kerja, melainkan manusia sebagai subyek pembangunan secara utuh.

Dalam praktik masih dipertukarkan istilah-istilah, misalnya, pengajaran dengan pembelajaran, sumber daya manusia dengan manusia subyek pembangunan, murid dengan peserta didik. Pengertian pendidikan pun masih diartikan sebagai peningkatan kualitas sumber daya manusia, padahal cita-cita UU Sisdiknas mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik mengembangkan potensinya sehingga memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, dan terampil.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang menegur anak- anak peserta upacara hari anak nasional menunjukkan bahwa presiden sebenarnya tak paham prinsip reformasi pendidikan yang ketiga. Pada prinsip itu pandangan terhadap keberadaan peserta didik (anak) terintegrasi dengan lingkungan sosial budaya dan pribadi anggota masyarakat.

Menegur di depan umum termasuk tidak memahami prinsip kebebasan anak. Anak yang lelah menunggu presiden dari pukul 06.00 berbeda dengan orangtua yang menunggu 4 jam apalagi dengan pengawal presiden.

Halaman Berikutnya
Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau