”Setiap semester selalu ada mahasiswa yang jadi korban kecelakaan, kena demam berdarah dengue, sampai kemalingan. Begitulah. Mahasiswa jadi tidak hanya melihat Indonesia melalui kacamata berwarna indah, tetapi mereka mengalami betul sampai hal-hal yang buruk,” tuturnya tertawa.
Kekuatan bahasa
Hill menyesalkan berbagai peristiwa di Indonesia yang menyebabkan orang Australia berpikir dua kali untuk berkunjung ke negara ini. Bahkan, banyak orang Australia kemudian beranggapan kehadiran mereka tidak diinginkan di Indonesia. Padahal, bahasa Indonesia masih menjadi bahasa strategis (national strategic language) di Australia, yang artinya membuka kemungkinan terjadinya kerja sama di berbagai bidang.
”Naik turunnya minat belajar bahasa sesungguhnya merupakan barometer hubungan antara kita. Ini termasuk salah satu soft power dalam hubungan internasional antarnegara. Kalau minat orang Australia naik, itu berarti Indonesia semakin dianggap serius. Sebaliknya, jika menurun berarti Indonesia dianggap tidak penting lagi,” ujar Hill.
Hal itu, lanjut Hill, tidak hanya berlaku pada negara Australia saja, tetapi juga dengan negara-negara lain. Kalau minat mempelajari bahasa menurun di suatu negara, berarti soft power Indonesia menurun. Sebenarnya hal itu sangat disayangkan sebab banyak kesempatan kerja sama menjadi hilang.
Meski demikian, kenyataan itu tidak menyurutkan semangat Hill untuk terus mengirimkan mahasiswa melalui ACICIS belajar di perguruan tinggi di Indonesia. Hingga kini sudah ada 25 universitas di Australia yang mengirimkan mahasiswanya ke Indonesia melalui ACICIS. Di Indonesia, ada enam universitas yang menjadi mitra ACICIS, yaitu Universitas Gadjah Mada, Universitas Muhammadiyah Malang, Institut Seni Indonesia Yogyakarta, Universitas Islam Indonesia, Universitas Sanata Dharma, dan Universitas Katolik Atma Jaya Jakarta.
Bagaimana meyakinkan para mahasiswa itu berkunjung ke Indonesia, menurut Hill, bukan hanya peran ACICIS. ”Para dosenlah yang memiliki peran sangat besar. Mereka adalah ujung tombak yang meyakinkan mahasiswanya bahwa Indonesia tidak seburuk seperti yang diberitakan selama ini,” tutur Hill.
Meski demikian, dia merekomendasikan kedua pemerintah negara untuk turut mencari solusi atas permasalahan tersebut. Salah satunya adalah dengan memperpanjang masa studi beasiswa, baik melalui Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia serta beasiswa dari Pemerintah Australia untuk warga Indonesia. Dari masa beasiswa tiga tahun dapat ditambah dua tahun lagi untuk praktik mengajar Bahasa Indonesia di Australia.
Sementara itu, kepada Pemerintah Indonesia, Hill menyarankan untuk mulai membuka diri dengan kehadiran warga Australia, misalnya dengan tidak mempersulit warga Australia mendapatkan visa kerja di Indonesia.
”Orang Australia yang sudah mahir berbahasa Indonesia sulit bekerja di Indonesia, sebaliknya juga di Australia. Saya kira kalau kesempatan perpindahan tenaga kerja bisa lebih mudah barangkali itu bisa menjadi pendorong bagi warga Australia untuk mempelajari Indonesia,” kata Hill.
***
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.