Di langit mendung menggelayut. Rasa cemas siswa bertambah. Mereka khawatir hujan turun. Tubuh basah kuyup harus ditanggung. Pada hari pertama UN, Senin lalu, Sifa dan Ali Hidayat (16), siswa lainnya,
”Saat jalanan baru diguyur hujan, kubangan dan lumpur menghadang. Jika sudah begitu, percuma saja memakai sepatu bersih,” imbuh Ali.
Setelah sekitar 30 menit
Kepala Desa Pendreh Ating Jerman mengatakan, ia sudah lama meminta agar SMPN bisa didirikan di desanya. Pilihan lain adalah menjadikan SMP PGRI Pendreh sebagai sekolah negeri. ”Kami khawatir jika perahu yang mereka tumpangi itu terbalik. Jika ada SMP negeri, UN bisa digelar di Pendreh,” jelasnya lagi.
Ating mengaku sudah bosan menyampaikan permintaan agar siswa itu tak mencarter kelotok. Apalagi banyak dari mereka termasuk keluarga kurang mampu. Bahkan, Sefriadi (17), misalnya, adalah anak sebatang kara. Ibunya sudah wafat dan ayahnya pergi karena menikah lagi.
Sefriadi menanggung biaya hidupnya dengan bekerja sebagai buruh penyadap karet. Ia tinggal di rumah kakaknya. Pendapatan Sefriadi tak lebih dari Rp 300.000 per bulan. Ia tidak bisa bekerja jika musim hujan karena pohon karet menghasilkan sedikit getah.
Ongkos mencarter kelotok bagi Sefriadi terasa amat berat. Namun, ia bersikukuh mengikuti UN. Ia mengangsur iuran sewa kelotok selama tiga bulan. ”Berat sekali biaya itu buat saya. Namun, saya harus mengikuti ujian,” tegasnya.
Ongkos sewa kelotok itu tak sebanding dengan uang sekolah di SMP PGRI Pendreh, yang hanya Rp 10.000 per bulan. Namun, harga solar di Barito Utara yang mencapai Rp 12.000 per liter memang membuat siswa tak memiliki pilihan lain.
Beberapa siswa juga tetap bersemangat mengikuti UN,