Tuntutan tersebut, dalam situasi dan kondisi apapun, sangat tinggi di tengah beragam tantangan guru atau pendidik di era '21st Century Skills' atau lebih dikenal dengan 'Keterampilan Abad 21' saat ini. Namun, sejatinya, pendidikan di banyak sekolah dan perguruan tinggi, tak terkecuali pemerintah yang menaungi mereka, tak perlu rumit menerjemahkan konsep tersebut dengan merancang beragam materi pengajaran berbau 'Keterampilan Abad 21' itu.
"Banyak hal-hal kecil yang harus lebih dulu mereka bangun untuk mencapai hal itu dan perlu diprioritaskan. Awali semua lewat mimpi," ujar Firdaus Alamsjah, Dekan Eksekutif Binus Internasional, saat memberikan pembekalan "5 Langkah untuk Lebih Produktif" kepada para guru peserta 'School Executive Excursion 2015' yang digelar Binus University di Bangkok, Selasa (1/9/2015).
Firdaus memberi contoh ketika pada 2007 bersama-sama Rektor Binus University, Prof Harjanto Prabowo, menelurkan ide menjadikan Binus University sebagai "World Class University" pada 2020. Saat itu, dekan yang akrab disapa Ferry itu, mengaku Binus tengah menghadapi tantangan besar ke depan, yaitu perubahan zaman. Zaman yang serba dipenuhi sentuhan teknologi.
"Kami berusaha berpikir out of the box. Tahun 2020 kita mau jadi apa, pertanyaan itu yang pertama muncul di pikiran kami. Mimpi pun muncul, yaitu mau jadi world class university," tutur Ferry.
Awalnya, ia masih berpikir tidak yakin dengan mimpi itu. Sampai akhirnya, kami buat rencana milestone. Ia bersama-sama Harjanto membuat program-program jangka pendek, menengah, dan panjang untuk di arahkan ke "mimpi" itu.
"Tiap tahun kami buat rencana jangka pendek yang kita arahkan ke tujuan 2020. Kami mulai gagas research university, kami juga bangun online learning. Intinya, mimpi dulu. Menjadi world class university itu bukan kerja semalam, tapi kami kerjakan pelan-pelan, sampai akhirnya kami didukung yayasan. Terbukti, akhirnya setelah 8 tahun mimpi kami tercapai karena semua pekerjaan berjalan dengan baik," kata Ferry.
Sebagai seorang akademik, Ferry cukup melihat banyak perubahan di dunia pendidikan. Ia sepakat dengan pernyataan seorang guru peserta diskusi, bahwa kecenderungan saat ini adalah sekolah hanya tempat titipan. Siswa adalah titipan orang tua karena sibuk bekerja.
"Untuk itu, ketika saya menerima mahasiswa baru di kampus, kami nyatakan bahwa si mahasiswa adalah bagian dari keluarga. Kami dan pihak orang tua harus bekerjasama. Kami dan pihak orang tua harus punya misi yang sama. Itu harus jelas dulu di depan, bahwa kita di sekolah punya tanggung jawab yang sama terhadap anak didik," kata Ferry.
Memang, sebagai pendidik, Ferry mengaku tak menampik bahwa guru kadang sangat sulit memilih antara harus mendahului melakukan cara terbaik atau memilih pilihan terbaik demi menjadi pendidik yang produktif untuk anak didiknya. Di tengah perubahan zaman, yaitu kemajuan teknologi dan tekanan birokrasi, baik sekolah maupun pemerintah, guru tetap harus bisa mencari jalan keluar sendiri.
Hal itu seperti dicontohkan oleh Njuk Fan, guru SMA Yos Sudarso Batam, peserta diskusi lainnya. Satu kali, dia sudah membuat rancangan kerja dan mengatur waktu untuk mewujudkan rancangan itu. Tiba-tiba, ada intervensi dari dinas pendidikan untuk membuat satu rencana pekerjaan.
Ia akui, hal itu biasa terjadi. Hanya, rencana yang sudah dibuatnya bersama tim di sekolah seketika berantakan.
"Yang bikin rencana berantakan itu adalah tugas dadakan. Minta dadakan bikin rancangan, tapi akhirnya rencana yang sudah kami buat itu berantakan. Misalnya, jam 7 pagi dapat SMS, jam 9 harus selesai dan tiba di dinas," ujar Fan.
Menanggapi hal itu, Ferry mengatakan banyak hal bersifat unpredictable sering terjadi, yang pada akhirnya menjadi predictable. Dia menyarankan, guru ada baiknya membiasakan diri terhadap hal-hal di luar perkiraan atau tak terencana.