Ada seseorang yang suka berbohong. Ketika ia jujur, ia justru disangka bohong.
Minggu lalu saya sempat berdiskusi dengan salah satu Chief Manager di Bank Central Asia ketika membedah buku pertama saya, Mendeteksi Kebohongan.
Ia sempat menanyakan kepada saya,”Pak Han, jadi sebetulnya ilmu deteksi bohong ini bermanfaat untuk mempercepat para Superior (Supervisor, Manager, General Manager, Kepala Cabang, Kepala Divisi, Direktur) untuk mengetahui seseorang jujur atau bohong ? Bukankah para Superior sudah bisa memetakan siapa saja yang seringkali berkata / berperilaku bohong berdasarkan kejadian-kejadian selama bekerja ?”
Saya tersenyum.
Persepsi “suka berbohong = pasti berbohong lagi di masa akan datang” adalah persepsi yang seringkali terjadi di sekeliling kita. Dan persepsi inilah salah satu persepsi yang membuat Anda salah deteksi apakah karyawan Anda atau staff Anda berkata/berperilaku jujur atau bohong.
Persepsi ini menjadi semacam “hidung pinokio” yang pasti memanjang. Ketika si A yang ngomong, pasti bohong. Ketika si A ngomong nya seperti itu, si A pasti bohong. Kalau disuruh percaya si A atau B yang bohong, pasti si A yang bohong, karena dia sering berbohong.
Padahal, sekali lagi, saya mengingatkan, bahwa di dalam ilmu kriminologi diajarkan bahwa setiap orang punya potensi berbuat jahat. Yang tidak bisa berbuat jahat hanya Sang Pencipta.
Dan di dalam ilmu psikologi, atau tepatnya ilmu deteksi kebohongan, diajarkan bahwa kebohongan bersifat kontekstual.
Si A yang pernah berbohong, atau bahkan seringkali berbohong, belum tentu akan berbohong lagi pada konteks moment saat ini, atau pada konteks topik tertentu, atau konteksnya saat berbicara di hadapan orang tertentu, misalnya atasan yang ia segani, pimpinan perusahaan, dan lainnya.
Dengan kata lain, siapakah manusia yang bisa dinyatakan sebagai seorang “Pembohong” ?
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanSegera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.